May 30, 2011

Transformasi Struktural di Era Ekonomi Pengetahuan dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan bahwa salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai konsekuensinya negara harus berperan secara aktif dalam upaya-upaya pencerdasan kehidupan bangsa, termasuk tentunya penyelengaraan pendidikan. Merujuk pada hal tersebut, jelas bahwa konstitusi yang dirancang oleh para pendiri bangsa ini mengamanahkan perwujudan pendidikan sebagai hak dasar setiap insan Indonesia.

Perubahan Struktural Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi: Ekstrapolasi Ekonomis-Historis
Hari ini, konsep pendidikan sebagai hak dasar mendapat tantangan keras dengan mengemukanya era ekonomi pengetahuan. Dalam era yang kerap disebut sebagai era post- industrial ini, keunggulan kompetitif dalam persaingan ekonomi tidak lagi ditentukan semata oleh faktor modal yang bersifat fisik namun juga kemampuan untuk mengelola ilmu pengetahuan menjadi bentuk-bentuk terobosan kreatif. Hal ini dibuktikan secara empirik oleh Robert Solow melalui teori new growth . Dalam teori yang membawanya memenangkan nobel ekonomi tersebut, Solow menciptakan kerangka kuantitatif yang menggambarkan pertumbuhan investasi dan depresiasi. Solow mengemukakan bahwa pertumbuhan depresiasi akan selalu berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan investasi. Untuk meresponnya dibutuhkan terobosan-terobosan kreatif yang lahir dari penguasaan teknologi. Inilah awal mengarus utamanya konsep ekonomi pengetahuan sebagai-dalam terminologi Habermas-zeitgeist era post-industrial.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi pun tidak luput dari proses transformasi tersebut. Belakangan, pendidikan tinggi semakin dianggap penting. Pendidikan tinggi diharapkan melahirkan berbagai lulusan dengan kepakaran yang tinggi dan mampu menjadi lokomotif penggerak kemajuan suatu negara .

Dalam perspektif historis, serangkaian pegeseran paradigmatik pasca perang dunia kedua turut berdampak pada struktur penyelenggaraan pendidikan tinggi. Profesor W.H.M. Zijm dalam makalahnya yang berjudul “Higher Education and GATS” menjelaskan bahwa kebutuhan akan pemulihan dan transformasi ekonomi pasca kehancuran perang melahirkan beberapa perubahan fundamental dalam paradigma penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Yang pertama adalah berubahnya konsep pendidikan tinggi dari pendidikan yang bersifat elitis menjadi massal. Munculnya-dalam istilah Profesor W.H.M. Zijm-mass higher education ini menjadi penyebab meningkatnya permintaan terhadap pendidikan tinggi. Mengacu pada sumber yang sama, tercatat jumlah peserta didik yang ambil bagian dalam pendidikan tinggi di Eropa Barat sebagai contoh, melonjak hingga dua kali lipat dalam setengah abad terakhir. Ketika jumlah permintaan yang meningkat ini tidak dapat direspon oleh struktur domestik, muncullah internasionalisasi pendidikan sebagai solusi. Dalam kondisi tersebut, kehadiran market (pasar) sebaga instrumen mediasi tidak terhindarkan lagi. Proses ini berujung pada menguatnya peran pasar dalam penyelenggaraan pendidikan.

Konstelasi ekonomi dan ekstrapolasi historis tersebut kemudian bertemu pada satu titik bernama liberalisasi pendidikan. Dalam praktiknya, proses liberalisasi ini kemudian terasosiasi dengan penetrasi kekuatan agen-agen internasional terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi di berbagai negara. Indikator utamanya, Inisiatif-inisiatif kebijakan yang beredar dalam dinamika internasional mengarah pada melemahnya peran negara dalam tata kelola satuan penyelenggara pendidikan tingginya. Meskipun dinamika perubahan ini berbeda-beda tegantung pada konteks politik dan sosial di negara terkait, namun arah dari perubahan-perubahan yang terjadi cenderung serupa . Pemerintah di berbagai belahan dunia mulai dari Amerika Latin, Eropa, Amerika Utara, Asia, Afrika dan Australia, belakangan semakin mengurangi subsidi yang diberikannya kepada sektor pendidikan tinggi secara drastis, memaksa institusi penyelenggara pendidikan tinggi untuk lebih mengandalkan pendanaan sektor swasta dan berkompetisi satu sama lain untuk memperebutkan sumber-sumber pendanaan dan peserta didik .
Studi Kasus: Amerika Latin
Negara-negara Amerika latin tidaklah asing terhadap konsep ini. Upaya sistemik untuk merestrukturisasi model universitas di Amerika Latin berdasarkan model Amerika Serikat yang berlandaskan tata kelola model swasta dan orientasi for-profit dapat dilihat pada Atcon Report yang muncul pada tahun 1960an. Dokumen inilah yang kemudian dielaborasi hingga kini oleh Bank Dunia sebagai basis dalam menyusun program penyesuaian struktural . Restrukturisasi ini pada gilirannya menimbulkan penekanan terhadap faktor efisiensi dibandingkan kesetaraan dan aksesibilitas. Sebagai akibatnya peserta didik yang dalam paradigma ini berperan sebagai konsumen, harus membayar biaya yang lebih tinggi.
Studi Kasus: India

Di india, pendidikan secara paradigmatik dipandang sebagai kunci menuju pembangunan individu, komunitas dan bangsa yang holistik dan berkelanjutan . Namun demikian, data empirik menunjukkan bahwa perkembangan dan ekspansi penyelenggaraan pendidikan tinggi di India hingga kini belum mampu mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakatnya. Dari total populasi berusia 17-23 tahun, hanya sekitar 6-7% yang menjadi peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi . Berdasarkan gambaran ini, India perlu mengakselerasi penyelenggaraan pendidikan tinggi baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Akselerasi tersebut menuntut peran negara yang dominan. Dalam kondisi tersebut, aktivitas negara dalam advokasi kesejahteraan publik di India tereduksi secara konsisten sejak akhir tahun 80an akibat tekanan globalisasi dan tuntutan program penyesuaian struktural. Akibatnya dalam sektor pendidikan tinggi, persentase angka partisipasi pendidikan tinggi terhadap total populasi yang terus meningkat dari 0, 71 menuju 1, 24 pada rentang waktu antara periode pertama hingga keempat program 5 tahunan India, menurun drastis menjadi hanya 0, 53 pada periode ketujuh dan 0, 35 pada periode kedelapan .

Penetrasi kekuatan global dalam penyelengaraan pendidikan tinggi di India kian nyata ketika aliansi nasional demokrat yang memerintah India pada periode 1998 hingga 2004, menyetujui preskripsi Bank Dunia yang mengkategorikan pendidikan sebagai “non-merit goods” . Sektor pendidikan tinggi di India pun menjadi terbuka terhadap mekanisme pasar. Akibatnya bagi sektor pendidikan tinggi di India antara lain: (a) Berkurangnya pendanaan sektor negara; (b) menguatnya peran swasta; (c) meningkatnya biaya pendidikan; (d) munculnya konsep uang pangkal dan (e) institusi penyelenggara pendidikan tinggi dipaksa untuk mengupayakan pendanaan secara mandiri.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana di Indonesia?

Kontekstualisasi di Indonesia
Dalam laporannya yang berjudul Higher Education: Lessons of Experience, Bank Dunia mendefenisikan terjadinya sebuah krisis dalam pengelolaan pendidikan tinggi, terutama di negara-negara berkembang . Merespon situasi tersebut, Bank Dunia kemudian mencanangkan program reformasi pendidikan tinggi berdasarkan knowledge for development and knowledge for economics agenda . Di Indonesia, penetrasi Bank Dunia dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi mulai mengemuka bersamaan dengan pelaksanaan proyek University Research for Graduate Education (URGE) pada tahun 1994 . Salah satu implementasi dari proyek ini adalah didirikannya Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN PT). Setelah itu, dirancang beberapa proyek lanjutan yang secara umum semuanya ditujukan untuk mendukung upaya reformasi pendidikan tinggi di Indonesia, yaitu proyek Development of Undergraduate Education (DUE) pada tahun 1996 , proyek Quality of Undergraduate Education (QUE) pada tahun 1997 , hingga proyek Indonesia-Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) pada tahun disepakati pada tahun 2005 .

Untuk mengokohkan rancang bangun proyek-proyek tersebut, pemerintah Indonesia juga mengintegrasikan upaya liberalisasi pendidikan tinggi dalam struktur perundang-undangannya. Hal ini mengemuka bersamaan dengan diterbitkannya UU no 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO). Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan. Sebagai anggota WTO Indonesia harus menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya. Indonesia juga memiliki UU PMA (Penanaman Modal Asing) dan derivasinya yaitu Perpres nomer 77 tahun 2007 dan Perpres nomer 111 tahun 2007. Di dalam lampiran Perpres inilah, pada item ke-72, 73, dan 74, sektor pendidikan secara terang benderang dinyatakan sebagai bidang usaha yang dapat dimasuki investor asing dengan penyertaan modal maksimum hingga 49 persen.

Tinjauan Legal Dalam Konteks Bentuk Hukum Satuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi
Seiring menguatnya peran pasar dan sektor privat sebagai derivasi dari penetrasi Bank Dunia terhadap penyelenggaran pendidikan tinggi di Indonesia, muncul polemik di ranah hukum tentang bagaimana konstruksi legal yang ideal bagi satuan penyelenggara pendidikan tinggi yang berada dalam lingkup negara. Hal ini dimulai pada tahun 1999 saat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomer 61/1999. Dalam PP tersebut, mulai muncul embrio privatisasi pendidikan tinggi melalui konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Konsep BHMN kemudian terwujud dalam praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi pada tahun 2000 dengan berubahnya sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagai penyelenggara pendidikan tingi publik-UI, UGM, ITB dan IPB-menjadi BHMN. Dampak yang paling signifikan dari perubahan status ini adalah dipisahkannya kekayaan dan aset PTN terkait dari kekayaan negara. Hal ini jelas merepresentasikan melemahnya peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan di PTN-PTN tersebut.

Tahap selanjutnya dari proses transformasi tersebut adalah lahirnya Undang-Undang nomer 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional atau lazim disebut sisdiknas. Dalam konsiderannya, undang-undang sisdiknas secara terang benderang menyatakan perlunya pendidikan tinggi merekonstruksi diri dalam rangka menyambut tantangan global. Dampak dari berlakunya UU sisdiknas ini adalah munculnya konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena sebagaimana diamanahkan oleh pasal 53 ayat 1 UU sisdiknas, satuan penyelenggara pendidikan tinggi harus berbentuk badan hukum . Sebagai langkah untuk menjalankan amanah tersebut, pemerintah menerbitkan UU nomer 9 tahun 2009 yang mengatur bahwa seluruh satuan penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia harus berbentuk badan hukum. Meski belakangan UU BHP ini dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi, dampak yang timbul pasca pembatalan tersebut masih menyisakan perdebatan dan diskursus panjang yang belum berkesudahan hingga kini.

Mencari (Kembali) Titik Terang

Pandangan Umum

Dalam sejarahnya, satuan penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia memang memiliki relasi yang kuat dengan eksistensi negara bangsa (nation state) Indonesia, terlebih bagi yang berada dalam ruang lingkup otoritas negara-selanjutnya akan disebut dengan satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik. Sistem yang demikian dinilai tidak efisien dalam memajukan mutu pendidikan tinggi. Lebih dari itu, ketergantungan birokrasi terhadap negara-sebagai aktor dalam trilogi negara, pasar dan masyarakat sipil-telah membuat pendidikan tinggi terutama pendidikan tinggi publik tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam merespon dinamika eksternal atau mendapatkan dukungan yang sesuai. Dalam konteks sosiologis, hal ini mengakibatkan para pelaku pendidikan tinggi tidak memiliki sense of belonging kepada masyarakat karena strukturnya yang birokratis. Pandangan-pandangan ini yang pada akhirnya membuat Bank Dunia mulai mulai mengarahkan reformasi pendidikan tinggi di Indonesia pada konstruksi otonomis. Bank Dunia menilai bahwa sebagai akibat dari tidak adanya otonomi dan rasa kepemilikian terhadap masyarakat, institusi pendidikan tinggi kekurangan akuntabilitas dan tanggung jawab kepada masyarakat. Hal tersebut berdampak pada pada kualitas, efisiensi, dan relevansi pendidikan tinggi secara umum di Indonesia. Buruknya kualitas dari pendidikan tinggi dapat dilihat dari rendahnya kualifikasi dari para pengajar, infrastruktur yang buruk dan terbatasnya literatur di perpustakaan juga rendahnya efisiensi.

Dalam Konteks Satuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Publik
Merujuk pada situasi tersebut, upaya untuk mencari solusi melawan liberalisasi pendidikan tinggi-sebagaimana direpresentasikan oleh kehadiran Bank Dunia-harus diawali dengan mendamaikan tegangan antara peran negara dan otonomi bagi satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik. Menghadapi zaman baru serta perbedaan kapasitas antar satuan penyelenggara, otonomisasi adalah sebuah keniscayaan. Namun demikian, pemerintah harus memiliki political will yang kuat untuk menempatkan jaminan negara terhadap eksistensi satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik dan otonomi bagi mereka untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber dayanya-termasuk melalui kerjasama dengan sektor privat-dalam sebuah tatanan yang integral dan komplemen alih-alih beroposisi satu sama lain. Peran negara harus diperkuat dalam relasi mutualisme dengan keberadaan sektor privat. Selain itu harus ada upaya serius untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam kinerja satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik, tentunya dengan tetap berlandaskan pada asas keadilan.

Salah satu upaya untuk memperkuat peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah dengan meninjau kembali keberadaan UU nomer 7 tahun 1994 dan perpres nomer 77 dan 111 tahun 2007-sebagai derivasi dari UU PMA-dan upaya untuk meliberalkan pendidikan yang terkandung di dalamnya melalui upaya judicial review. Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945-sebagai sumber hukum yang lebih tinggi secara hirarkis dibandingkan dengan UU DAN perpres-pasal 33, bidang-bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Di era ekonomi pengetahuan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pendidikan tinggi harus dipandang sebagai instrumen strategis dalam pembangunan yang berkorelasi dengan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Artinya, negara harus berperan aktif menjamin aksesibilitas pendidikan tinggi. Meski begitu, peran sektor privat tidak dapat ditolak begitu saja, dan sebaliknya harus diakomodir untuk memperkuat peran negara. Sebagai model untuk kebijakan ini dapat dirujuk model penyelenggaraan pendidikan tinggi publik di Jerman dan Australia , di mana kerjasama antara institusi penyelenggara pendidikan tinggi negeri dengan sektor privat secara otonom demikian diberdayakan namun di sisi lain, negara hadir memberikan jaminan penuh terhadap pendanaan yang mereka butuhkan.

Selanjutnya sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi publik yang diselenggarakan oleh negara, struktur penyelenggaraannya harus menerapkan konsep Good Corporate Governance (GCG). Sebagaimana telah dipaparkan, kehadiran negara kerap diasosiasikan dengan struktur yang serba birokratis, paradigma yang feodal dan konvensional serta etos kerja yang buruk. Inilah rasionalisasi menguatnya sektor privat sebagai oposan terhadap buruknya kinerja negara dalam penyelenggaraan kebijakan publik-termasuk dalam sektor pendidikan tinggi. Konsep GCG menjadi kunci untuk mereformasi situasi ini dan mewujudkan tata kelola penyelenggaraan pendidikan tingi yang unggul. Menurut Sunarto , GCG terdiri dari konfigurasi 3 unsur yaitu keterbukaan, integritas dan akuntabilitas. Sebagai implementasinya, satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik harus sensitif dan terbuka terhadap perubahan yang dapat memacu kinerjanya menjadi lebih baik dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban publik yang baik, transparan dan terpercaya.

Melalui sinergisasi peran negara-pasar di tataran makro-seperti melalui rekonstruksi hukum-dan penerapan konsep GCG di tataran mikro akan tercapai kemajuan pendidikan tinggi publik berlandaskan otonomi yang tidak melupakan keberpihakan terhadap mereka yang tidak berpunya. Hal ini bukan berarti kemudian seluruh rakyat Indonesia harus berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri, karena setiap individu tentu memiliki kapasitas, kompetensi dan preferensi yang berbeda-beda. Yang harus diwujudkan serta dipegang teguh sebagai landasan paradigmatik adalah mengenyam pendidikan tinggi merupakan hak seluruh warga negara Indonesia. Ketika seseorang memiliki preferensi untuk mengenyam bentuk pendidikan tertentu yang diselengarakan oleh negara dan yang bersangkutan telah memiliki kapasitas dan kompetensi yang diperlukan, negara harus menjamin aksesibilitas baginya. Jika tidak, mari bubarkan saja Indonesia, karena ia telah berkhianat pada tujuan keberadaannya!

Epilog: Pendidikan Berbasis Kesadaran Menuju Eskalasi Sosial yang Mensejahterakan
Meminjam konsep pendidikan berbasiskan kesadaran (conscientizacao) milik Paulo Freire, pendidikan harus dipandang alat untuk membebaskan kaum tertindas dari ketertindasannya melalui hadirnya kesadaran kritis. Anies Baswedan dalam sebuah seminar memperkuat hal tersebut dengan mengatakan bahwa pendidikan harus dipandang sebagai instrumen rekayasa struktural yang mampu membebaskan seseorang dari belenggu kemiskinan dan ketertinggalan. Pada akhirnya, solusi apapun yang hendak kita bangun harus berujung pada upaya sistematis untuk menyadarkan masyarakat akan urgensi pendidikan. Inilah senjata paling ampuh untuk melawan liberalisasi yang berujung pada upaya pemiskinan, kesadaran kritis.

Masyarakat hingga tingkatannya yang paling bawah harus dicerahkan untuk tidak senantiasa menggantungkan diri pada BLT, subsidi atau jenis bantuan filantropis sejenis melainkan melalui pendidikan, meningkatkan martabat hidupnya. Masyarakat yang tersadarkan inilah yang akan menjadi lokomotif eskalasi sosial menuju bangsa yang lebih sejahtera.

"All who have meditated on the art of governing mankind have been convinced that the fate of empires depends on the education of youth." (Aristoteles)





Daftar Pustaka

•Freire, Paulo. 1993. Pedagogy of the Opressed. New York: Continuum
•Implementation Completion Report (CPL-37540; SCL-3574A; SCPD-375A; SCPD-3754S) on a Loan in The Amount of US$ 58.9 Million to the Republic of Indonesia for a University Research for Graduate Education Project
•Implementation Completion Report on Loan For A Higher Education Support Project: Development of Undergraduate Education, June 27, 2003,
•Mankiew, Gregory.2002. Macroeconomics. New York: Mcgraw-Hill
•Nizam, “Indonesia: The Need for Higher Education Reform.” In Higher Education in South-East Asia. (Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education, 2006). p 35-68.
•Project Appraisal Document on Proposed Loan For A Managing Higher Education For Relevance And Efficiency Project
•Sunarto. Corporate Governance dan Kinerja Ekonomi, Fokus Ekonomi, Vol. 2 tahun 2003, Hlm. 240-257
•Suranjan, Das. 2007. The Higher Education in India and The Challenge of Globalisation, Social Scientist, Vol. 35 No. 3, Hlm. 47-67
•Susan L. Robertson. 2009. Market Multilateralism, the world bank Group and the Asymmetries of Globalising Higher Education: Toward a Critical Political Economy Analysis, New York: Routledge, Hlm. 2
•Teguh Yudo Wicaksono dan Deni Friawan, “Recent Developments of Higher Education in Indonesia: Issues and Challenges”, EABER Woking Paper Series: Paper no. 45, Paper Prepared for Discussion at the DPU/EABER Conference on Financing Higher Education and Economic Development in Asia (Bangkok: EABER, 2007)
•The Lesson from Experience. 1994. World Bank, page 4
•Torres, Carlos A.; Schugurensky, Daniel. 2002. The Political Economy of Higher Education in The Era of Neoliberal Globalization, Higher Education, Vol. 43 No. 4, Hlm. 429-455
•World Bank, Report No. PIC4883 : Indonesia-Quality of Undergraduate Education (QUE)

0 comments:

Post a Comment