May 20, 2010

Marketisasi Pergerakan Mahasiswa: Sebuah Reposisi Utuh


Di era berkembangnya jejaring sosial dan komunitas dalam kehidupan masyarakat yang kian urban (atau dijadikan urban?), serta di tengah kemajuan pesat teknologi yang perlahan tapi pasti mulai menata ulang kehidupan hingga mampu membawa kita hidup di alam lain (baca:dunia maya), segala sesuatu yang tidak mampu adaptif terhadap perubahan dapat dipastikan akan kehilangan tempatnya dalam hingar bingar zaman. Pun demikian dengan pergerakan mahasiswa hari ini. Ibarat komoditi, pergerakan mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral yang berbasiskan nilai serta ideologi (apapun ideologinya), harus berkompetisi-meminjam istilah tzun su-di air yang keruh, manakala mahasiswa sebagai segmen pasarnya, hidup dalam tatanan konstruksi sosial yang kaya akan apatisme, hedonisme dan bahkan pragmatisme ideologis yang secara simultan diintegrasikan oleh mekanisme pasar dalam sendi-sendi kehidupan mahasiswa. Proses ini berujung pada terdemarketisasinya pergerakan mahasiswa, karena pasarlah yang melalui segala dinamikanya menentukan market value dari pergerakan mahasiswa sebagai sebuah komoditi hasil produksi mahasiswa, dengan metodologi gerakan sebagai unit bisnis sekaligus fasilitator tangan pertama dari idealisme orang-orang yang kita panggil dengan sebutan aktivis.

Maka jelas, jika tidak ingin punah, metodologi pergerakan mahasiswa harus mulai kembali mencari bentuknya. Era 1998 telah berlalu, dan meski semangat dan flavour militansinya harus terus kita tumbuh kembangkan dalam proses kaderisasi gerakan, namun jelas bahwa banyak hal telah menjadi tidak lagi sama dengan ketika tank dan panser menjadi kawan akrab aktivis mahasiswa.
Tetap terkait dengan analogi pergerakan mahasiswa sebagai sebuah komoditi, untuk dapat menjadi market leader, maka ia harus mampu menerapkan strategi PDB yang solid, bijaksana serta prima, tepat guna sekaligus tepat sasaran. PDB (positioning, differentiating, branding) merupakan inti dari 3 elemen marketing menurut hermawan kertajaya, yang terdiri dari elemen strategi, taktik dan value. Tiga elemen Strategi adalah Segmentation, Targeting, dan Positioning (STP), dengan Positioning sebagai intinya. Tiga elemen Taktik adalah Differentiation, Marketing-Mix, dan Selling (DMS), dengan Differentiation sebagai intinya. Sementara tiga elemen Value adalah Branding, Service, dan Process (BSP), dengan Branding sebagai intinya.

Berbicara tentang elemen yang pertama yaitu elemen taktik, pada dasarnya terkait dengan pemetaan pelaku pelaku pergerakan mahasiswa. Siapa itu pelaku gerakan?di mana mereka?. Dalam korelasinya dengan upaya untuk memarketisasi pergerakan mahasiswa, sudah saatnya cakrawala intelektualitas sebagai dasar proses analisa guna mencari jawab dari pertanyaan tersebut ditata ulang, jawabannya bukanlah lagi hanya para orator di panggung-panggung aksi massa atau para pemikir yang melingkar bersama di ruang-ruang diskusi mengkaji permasalan bangsa, namun jawabannya bisa jadi juga mahasiswa yang menggubah lagu daerah yang kaya kearifan lokal dengan aransemen kontemporer untuk kemudian membawakannya di panggung-panggung mereka, bisa jadi juga olahragawan yang dengan medali yang diraihnya mampu mengibarkan sang saka di negeri orang. Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka pergerakan mahasiswa akan mampu melakukan positioning sebagai gerakan milik semua, yang dalam segmenting serta targeting mampu memandang pergerakan mahasiswa secara paripurna, sehingga terciptalah inklusifisme gerakan yang berujung pada meluasnya episentrum gerakan.

Berikutnya masuk pada elemen taktik, yang merupakan turunan dari strategi besar yang sudah dirancang sebelumnya, pergerakan mahasiswa harus mampu ”tampil beda”, tidak hanya berbeda secara semu, namun benar-benar secara subtantif. Dalam hal ini terdapat dua hal yang seharusnya kita kedepankan sebagai pembeda pergerakan mahasiswa dengan gerakan-gerakan sejenis yang juga dibangun oleh kaum civil society, yakni kemurnian dan intelektualitas gerakan. Jika ditelaah secara lebih mendalam, hal inilah yang sebenarnya dapat diolah menjadi competitive advantage pergerakan mahasiswa. Meskipun tak dapat disangkal, pergerakan mahasiswa juga harus mengektrapolasi dirinya dalam kurva politik, namun ia harus terus membarikade diri pada ranah politik moral serta nilai dan bukannya politik kekuasaan, ia harus mampu bebas dari kooptasi kepentingan politik beserta pelakunya,termasuk parpol. Pergerakan mahasiswa harus terus bergerak dengan berlandaskan pada kesadaran kritis akan masih adanya sesuatu yang salah dan harus diperbaiki, karena bila tidak, akan terus ada kelaparan, derita serta nestapa di negeri ini. Dengan demikian, pergerakan mahasiswa dapat hadir dengan lebih elegan, mengetuk hati-hati para pelakunya yang berasal dari beraneka golongan serta latar belakang, karena biar bagaimanapun, kapital serta ideologi tidak terbagi rata, sedangkan moral serta hati nurani, seberapapun besar atau kecilnya memiliki bentuk yang sama pada diri setiap orang, di mana itu hanya bisa disentuh melalui sebuah gerakan berbasis kemurnian, bukan kepentingan pragmatis. Terkait intelektualitas gerakan, maka sudah seharusnya, mahasiswa sebagai oknum intelektual membangun kajian-kajian yang cergas sebagai landasan gerakan, bukan semata bereaksi karena emosi, justru pencerdasan yang terinternalisasilah dasar guna membangun militansi yang tulus secara emosional. Setelah mampu tampil beda, dan telah terdiferensiasi dari kerumunan pasar, adalah sebuah keniscayaan untuk mengintegralkan diri dengan marketing mix yang menarik, hingga kemurnian dan intelektualitas sebagai basis gerakan akan terjual dan menjadi komoditi dengan daya akselerasi yang tinggi di dalam pasar nilai dan budaya mahasiswa. Marketing mix dalam bisnis identik dengan 4 p (produk, place, promotion, dan price), intisarinya adalah tentang alur hingga sebuah komoditi hadir di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks pergerakan mahasiswa, segenap public sphere milik mahasiswa harus dijadikan tempat untuk mulai membangun alur gerakan, sejalan dengan semangat ”untuk semua” yang telah dijabarkan sebelumnya. Transfer ilmu serta nilai harus terus berjalan secara kontinu tidak hanya melalui berpuluh halaman kajian para aktivis, namun juga melalui media yang lebih luas daya jangkaunya, mulai dari jejaring dunia maya seperti facebook, twitter dan blog hingga seminar publik, panggung pentas kesenian, lomba-lomba riset, hingga pertandingan olahraga.

Dan akhirnya, terkait dengan elemen nilai (value), inilah elemen yang berperan sebagai ruh dan jiwa dari sebuah komoditi. Meski tak kasat mata,namun elemen ini berperan penting agar sebuah komoditi dapat hidup tumbuh dan berkembang. Branding, Service dan Process, inilah dasar dari strategi marketisasi pada elemen nilai. Bila kita bingkai konsep ini dengan keberlangsungan pergerakan mahasiswa, maka hal ini terkait dengan isu yang diangkat sebagai brand, bagaimana pengangkatan isu gerakan dapat kongruen dengan pelayanan (service) pada rakyat. Telah berlalu saat-saat di mana kebebasan berpendapat dikebiri oleh rezim otoritarian, hari ini gerakan civil society bebas untuk mengekspresikan dirinya, penguasa pun dipilih dengan relatif demokratis, isu perjuangan pun harus bertransformasi dari isu sipol (sipil, politik) ke isu ekosob (ekonomi, sosial, budaya) agar konsisten dengan kebutuhan masyarakat yang mendambakan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, harga pangan yang murah, serta lapangan pekerjaan yang luas dengan remunerasi yang baik. Dan akhirnya, Roma tidak dibangun dalam semalam, pergerakan mahasiswa pun harus terus berproses secara kontinu bukan layaknya koboi yang baru beraksi ketika ada masalah yang timbul, pola gerakan yang reaktif dan hanya mengangkat isu yang seksi tanpa mengkorelasikannya dengan keadaan nyata masyarakat harus ditinggalkan.

Melalui rangkaian strategi di atas, dibarengi dengan komitmen tinggi para pelakunya, maka pergerakan mahasiswa akan kembali menemukan dirinya lagi secara utuh, kembali bersinar dan disegani, serta pada akhirnya mampu mewujudkanperubahan demi persada yang sejahtera untuk semua. HIDUP RAKYAT INDONESIA!