October 29, 2010

Menerobos Identitas Ilusif, Menuju Indonesia Satu


Bertahan satu cinta, bertahan satu C.I.N.T.A._D'bagindaz

Di bawah langit kota Depok pada suatu malam bulan Agustus lalu, penulis terlibat diskusi dengan seorang rekan. Diskusi ini merupakan kelanjutan dari diskusi kami beberapa malam sebelumnya dengan beberapa mahasiswa dari Universitas Cendrawasih (Uncen) yang kami temui sebagai peserta dalam sebuah even di Universitas Indonesia (UI), kampus kami. Dalam kesempatan itu, sahabat-sahabat dari Uncen tersebut bertutur tentang tanah kelahirannya yang selama bertahun lamanya telah jatuh terjerambab dalam kegelapan. Ketertinggalan dalam hingar bingar akselerasi pembangunan, kekerasan dan pelanggaran HAM oleh militer Indonesia, marginalisasi sosial serta krisis identitias politik, berpadu menjadi satu meluluhlantakkan cita dan harapan rakyat Papua. Untuk mereka, masihkah ada Indonesia? Demikian pertanyaan yang mengakhiri diskusi di malam berhujan itu.


Tersebutlah bunga (nama samaran), seorang anak kecil berumur sekitar 10 tahun yang cukup populer di kalangan mahasiswa UI, terutama di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Budaya serta Psikologi. Setiap hari bunga hilir mudik di fakultas-fakultas tersebut menjajakan aneka rupa komoditi, mulai dari keripik hingga permen, sekedar untuk beberapa lembar ribuan. Eksistensinya kian terangkat karena sikapnya yang ceria dan ramah, beberapa mahasiswa pun akhirnya menjadi relasi bisnis, alias pelanggan tetap bunga. Untuk bunga, masihkah ada Indonesia? Keadaannya mungkin akan jauh lebih baik bila ia kita hijrahkan ke Amerika Serikat yang memiliki sistem jaminan sosial yang holistik untuk menjamin kehidupan orang-orang seperti bunga.


Untuk setiap yang membaca tulisan ini, apakah Indonesia masih ada? Untuk menjawabnya mari kita berpetualang ke sebuah masa ketika tanah nirmala kita ini masih belum bernama Indonesia. Pada masa itu, segenap gugus kepulauan jajahan Kerajaan Belanda yang hari ini kita kenal sebagai tanah air kita, bernama Hindia-Belanda. Adalah J.R Logan yang pertama kali menggunakan terminologi Indonesia sebagai sebuah pengertian geografis murni dalam tulisannya yang dimuat oleh Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, berjudul “The Ethnology of the Archipelago”[1]. Sejak 1922, nama ini kemudian mengemuka secara politik, ketika secara konsekuen digunakan oleh Muhammad Hatta bersama Perhimpunan Indonesia yang didirikannya. Bung Hatta secara terang benderang menyebutkan bahwa nama Indonesia kala itu merepresentasikan sebuah tujuan politik untuk merdeka dan impian warga Indonesia tentang tanah airnya di masa depan[2]. Bung hatta menyadari betul bahwa diperlukan sebuah identitas bersama untuk meleburkan segenap bangsa dalam perjuangan bersama. Selebihnya, hamparan sejarah memperlihatkan bagaimana setelah itu nama Indonesia diperjuangkan mulai dari Den Haag hingga Ambarawa, dari meja perundingan hingga medan pertempuran, hingga akhirnya mampu berdiri berdaulat. Maka jelas sudah bahwa Indonesia pernah ada, setiap jejak perjuangan dalam ruang peradaban kita, mulai sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan hingga Konferensi Meja Bundar adalah saksinya. Tidak sekedar menjadi ada, ia lahir dan merdeka sebagai awal perwujudan sebuah tujuan mulia-mengutip sutan syahrir- yaitu rakyat yang bebas berkarya!


Bila secara reflektif kita telaah, narasi di atas sesungguhnya berkisah tentang kuasa identitas. Disadari atau tidak, letupan-letupan yang menjadi pendorong utama perjuangan Indonesia lepas dari penjajahan dan menjadi benar-benar ada selalu berkait erat dengan rekonstruksi identitas. Ketika identitas kedaerahan luruh menjadi satu identitas kebangsaan, saat itulah pergerakan nasional menuju kemerdekaan dimulai. Saat Hatta memproklamirkan identitas kebangsaan Indonesia di kancah internasional , mulai dari Perancis dalam Kongres Demokrasi untuk Perdamaian hingga Belgia dalam Liga Internasional Menentang Imperialisme dan Kolonialisme, saat itulah dukungan internasional untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia perlahan tumbuh. Bahkan proklamasi kemerdekaan pun sesungguhnya merupakan sebuah upaya peneguhan identitas, identitas sebagai bangsa yang merdeka.


Sayangnya, bila Indonesia dahulu menjadi ada dan besar karena sebuah kuasa identitas yang digalang, direkonstruksi dan dimodifikasi dengan demikian cergas oleh para pendirinya, keberadaanya kini perlahan lenyap juga karena kuasa identitas. Tidak ada lagi Indonesia hari ini, berganti dengan Cina, Batak, Jawa, kaya, miskin, kiri, kanan, moderat, fundamentalis, sosialis, neo-lib bahkan gaul dan tidak. Seberapa sering anda mendengar orang Jawa berkeluh kesah tentang betapa kasar rekannya yang Batak? Di tempat lain mungkin anda mendengar si Batak bertutur tentang betapa bertele-telenya orang Jawa. Atau bisa jadi anda pernah menyaksikan demonstrasi anti seorang-ketika itu-calon wakil presiden Republik ini yang bermula dari tuduhan tentang identitas ideologis beliau yang konon “neo-lib”. Sering pula kita saksikan sekelompok muslim yang menganggap dirinya sebagai muslim sejati hanya karena meyakini ajaran tertentu secara tidak beradab menggusur hak-hak saudara sebangsanya yang menurut pandangan mereka “berbeda”. Atau anda ingat kejadian di bulan Mei tahun 1998? Perbedaan identitas antara pribumi dan bukan bisa berarti hidup atau mati.


Pertanyaannya kuncinya adalah, sungguhkah kita begitu berbeda? Sungguhkah kini telah tiba masa bagi “benturan antar peradaban” sebagaimana istilah Huntington? Jawabannya akan menjadi ya jika kita tetap memandang konstruksi identitas beserta segenap kekayannya dari sudut tempat kita berdiri saat ini. Dari sudut yang-menurut istilah Amartya Sen- soliteris serta melalui sebuah pendekatan serba tunggal yang egosentris.


Pendekatan yang demikian memandang seorang individu hanya terasosiasi dengan satu jenis identitas serta menafikan asosiasi lain yang terdapat pada individu tersebut. Ini tentu merupakan sebuah kesesatan berpikir yang terang benderang. Dalam dinamika kehidupannya, seorang manusia akan tergabung dalam beragam kelompok dengan beragam dasar klasifikasi pula, mulai dari gender, pandangan politik, keyakinan akan keberadaan Tuhan, selera musik dan sastra hingga kecenderungan seksual. Dalam polarisasi di antara kelompok-kelompok tersebut mustahil untuk memandang salah satunya sebagai satu-satunya identitas yang melekat pada diri seorang individu. Terlebih dalam era di mana perkembangan teknologi telah mempertinggi kompleksitas struktur sosial masyarakat seperti sekarang.


Dalam kaitannya dengan kondisi bangsa Indonesia, pendekatan soliteris terhadap identitas terbukti telah menjadi sumber konflik dan perpecahan. Membentang dari Aceh hingga Maluku, perbedaan identitas membakar negeri ini dengan konflik berdarah. Mulai dari kerusuhan “Malapetaka 15 Januari” hingga pembakaran terhadap toko kaum tionghoa bulan Mei 1998, semuanya merupakan konflik berbasiskan identitas.


Sesungguhnya bentuk identitas yang menjadi penyebab konflik-konflik tersebut merupakan bentuk identitas yang ilusif karena lahir dari pemahaman sesat yang mengkerdilkan identitas dalam sebuah sudut pandang tunggal. Para pendiri bangsa ini di masa lampau telah menorehkan cerita yang cemerlang ketika mereka dengan bijaksana memandu bangsa ini menerobos identitas ilusif tersebut. Nama Indonesia lahir dan menjadi ada untuk menyatukan beragam identitas yang saling bertubrukan kala itu, mulai dari identitas kedaerahan hingga ideologis. Terciptalah nasionalisme sejati yang berorientasi pada persatuan alih-alih ketercerai-beraian. Konsep bhinneka tunggal ika, beraneka rupa tapi tetap satu pun termanifestasikan secara nyata. Hari ini, kita tengah berproses ke arah yang sebaliknya, identitas tunggal yang ilusif dan berangkat dari struktur berpikir yang picik, bertumbuh dengan subur di atas tanah Indonesia.


Dalam kerangka historis, kondisi ini tidak lepas dari pengaruh kebijakan rezim orde baru yang senantiasa berkiblat pada penyeragaman, mulai dari warna gedung sekolah hingga bentuk jamban, telah digariskan oleh pemerintah pusat. Diperparah oleh diskrimasi terhadap kebebasan berekspresi serta kebijakan ekonomi yang tidak pro-poor, terciptalah marginalisasi. Perasaan termarginalkan merupakan awal bagi kejatuhan dalam identitas yang ilusif, hal ini karena marginaliasi selalu berkaitan dengan perilaku membeda-bedakan, di mana dasar pembedaan tersebut seringkali adalah identitas. Kaya atau miskin, Cina atau bukan.


Jawaban bagi ilusi identitas sejatinya adalah revitalisasi konsep bhinneka tunggal ika itu sendiri. Konsep bhineka tunggal ika dalam alam kontemporer tempat kita hidup sering secara keliru digunakan sebagai landasan untuk mempersatukan pluralitas bangsa Indonesia dalam satu konstruksi identitas bersama yang tunggal, dalam sebuah relasi- mengutip jargon tiga pendekar pedang jagoan asal Perancis rekaan Alexander Dumas-satu untuk semua dan semua untuk satu. Melalui konstruksi berpikir ini, multikulturalisme tidak lebih dari utopia dan runtuh menjadi monokulturalisme majemuk semata. Perbedaan mendasar di antara kedua konsep tersebut adalah titik berangkat dalam memaknai identitas. Monokulturalisme majemuk lahir tatkala kompleksitas relasi sosial dalam struktur masyarakat dinegasikan dan setiap individu dipisahkan satu dengan yang lain oleh identitas tunggal yang ilusif. Sedangkan multikulturalisme akan tercipta ketika setiap individu dalam masyarakat dengan segenap atribut yang membentuk identitasnya, mulai dari jenis kelamin hingga pilihan warna, diberikan ruang untuk menciptakan skala prioritas di antara beragam atribut yang melekat pada dirinya tersebut. Skala tersebut tidaklah kaku, namun secara simultan terus berubah, beradaptasi dengan konteks kejadian yang dialami individu bersangkutan, dinamika sosiologis serta ruh zaman. Inilah konsep bhinneka tunggal sejati yang dinamis dan multikultural. Alih-alih mengkotakkan secara imajiner individu-individu dalam masyarakat secara soliteris, dinamika sosial yang terpolarisasi di antara individu-individu tersebut dan beragam atribut yang membentuk identitasnya, diangkat serta dihargai.


Konsep bhinneka tunggal ika yang dinamis dan multikultural akan menjadi cahaya pembimbing bagi bangsa ini untuk keluar dari konsep identitas ilusif yang mengerogotinya. Dengan pendekatan yang demikian, kita akan senantiasa terdorong untuk meluaskan cakrawala sudut pandang kita dalam menyikapi perbedaan menuju toleransi yang hakiki, bukan yang tunggal, soliteris dan egosentris. Orang jawa akan mampu melihat bahwa orang Cina juga orang Indonesia, tiada berbeda dengan dirinya. Sahabat-sahabat kita dari Uncen pun akan kemudian dipandang sebagai saudara sebangsa, bukan lagi warga marginal dari tanah Papua. Rekonstruksi paradigmatik ini tidak hanya berlaku sebagai solusi dalam ranah perbedaan identitas budaya atau suku, namun juga meliputi segenap perikehidupan bangsa mulai dari seni hingga hukum, ekonomi hingga olahraga. Bunga contohnya, si anak jalanan beban pembangunan, sesungguhnya adalah aset strategis bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia andai pemerintah mengubah skala prioritasnya dalam pemaknaan identitas.


Konsep bhinneka tunggal ika sebagaimana telah dipaparkan, harus dengan segera kita integrasikan dalam ruang-ruang peradaban Indonesia. Dimulai dari yang paling mendasar, alat rekayasa struktural sebuah bangsa, pendidikan. Konsep pendidikan moral kita harus diperkaya oleh konsep bhinneka tunggal ika dalam pengertiannya yang multikultural. Hal ini perlu didukung pula oleh intensifikasi dan ekstensifikasi diskusi antar kelompok dan peradaban dalam masyarakat menuju pencerdasan tentang bagaimana seharusnya identitas disikapi. Pemerintah dan segenap aparaturnya harus mengambil peran penting dalam hal ini, dengan disokong oleh pasar dan masyarakat sipil dalam peran dan kompetensinya masing-masing. Upaya-upaya ini, bila digalang secara konsisten akan menjadi titik balik bagi Indonesia untuk menemukan lagi keberadaan dan martabatnya, untuk sekali lagi menjadi ada dan memerdekakan setiap insannya, seperti dahulu, kali ini bukan dari tentara penjajah, namun dari komprador bernama ketakutan, kemiskinan, kelaparan dan ancaman disintegrasi.


[1] Muhammad Hatta.1998. Pemikiran Lengkap Bung Hatta, Kebangsaan dan Kerakyatan. Jakarta: P.T. Pustaka LP3ES; Cet. ke 1

[2] Ibid., hal. 15

September 13, 2010

Lebaran Berhujan



Entah mengapa alam ini menjadi syahdu beberapa hari belakangan, hujan tiada henti menyelimuti pertiwi paling tidak di tanah depok yang penulis pijak ketika postingan ini diterbitkan.


Mungkin ia menangis sedih, megingat kian jauhnya kita dari haribaan-Nya. Dengan berbagai alasan, bahkan kadang dengan mengatasnamakan kuasa ilahiah milik-Nya kita berjalan pongah di atas bumi, mencela, memfitnah, bergunjing, atau sekedar berprasangka buruk. Mungkin ia menangis sedih, melihat bangsa ini menjadi rumah untuk kelaparan, ketakutan, keterjajahan dan kebodohan. Mungkin pula ia menangisi dirinya sendiri, yang atas nama keserakahan dunia telah begitu sering kita renggut dan perkosa.


Dalam renung, hujan itu tetap tak terbaca, mungkin memang belum waktunya. Yang tersisa hanyalah tanya, di atas parade kefitrian ini, bersama gema takbir ini, bersama opor dan ketupat yang menyambut kita. Dalam lengangnya jakarta yang ditinggal mudik, dalam hujan yang perlahan turun lagi, apa yang tersisa? Sebuah tekad untuk menjadi insan yang lebih baik, atau kosong belaka? Mari, setulus-tulusnya kita bertanya pada hati kita masing-masing.

Di dalam hujan, di depan komputer pusgiwa, Lebaran berhujan

July 17, 2010

Hanya Bagian Pertama


Bulan-bulan belakangan, gw berkesempatan untuk menjadi panitia dalam sebuah program pelatihan kepemimpinan untuk mahasiswa berprestasi se-UI. Alhamdullilah, juang itu telah melahirkan begitu banyak risalah inspiratif dalam goresan perjalanan gw. Ini adalah tulisan yang gw buat di akhir bagian pertama (akan ada bagian yang kedua di tingkat nasional, setelah sebelumnya di tingkat UI, gw sedang mengerjakannya) kepanitiaan tersebut untuk dimuat dalam buletin ILDP. Apa itu ILDP??

Neither a lofty degree of intelligence nor imagination nor both together go to the making of genius. Love, love, love, that is the soul of genius.
_Wolfgang Amadeus Mozart_


Kamis, 15 April 2010 di ruang rapat yang berada di lantai 2 gedung PPMT (Pusat Pelayanan Mahasiswa Terpadu), sebuah penemuan kembali telah dimulai bagi definisi sejati dari frase mahasiswa berprestasi (mapres). Di ruang tersebut berlangsung pengarahan oleh tim penyelenggara ILDP kepada para pesertanya, yakni para mapres. Jika selama ini mapres identik dengan mahasiswa ber IPK tinggi dengan segudang prestasi domestik hingga internasional, maka tahun ini, direktorat kemahasiswaan UI mencoba untuk melakukan revolusi paradigmatik dengan meluncurkan program ILDP (Indonesia Leadership Development Program). Program ini menegaskan keniscayaan bahwa seorang mapres dengan segala kualitas dan kompetensi unggulnya, sesungguhnya adalah calon potensial pemimpin masa depan bangsa ini.

Detik ini, 19 Juli 2010 ketika tulisan ini mengada, risalah perjalanan ILDP bagian pertama, yaitu UI program telah sampai pada lembar terakhirnya. Ini adalah sebuah catatan perjalanan yang dalam kerangka reflektif mencoba menghadirkan kembali detik-detik juang itu guna menjadi inspirasi dan renungan bersama.

ILDP disusun dalam sebuah kurikulum yang berorientasi untuk melahirkan pemimpin holistik, tidak hanya kaya akan hard skill, namun juga soft skill yang secara ideologis akan membentuk jiwa dari seorang pemimpin sejati. Pembicara yang akan dihadirkan, serta kegiatan yang akan dijalani oleh para peserta merupakan sebuah rangkaian utuh yang pada akhirnya akan membentuk kepemimpinan tidak hanya-merujuk pada Sigmund freud- sebagai sebuah faktor behavioral tapi juga psiko analisa, di mana kepemimpinan akhirnya mampu terbentuk sebagai sebuah karakter. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya akan mendudukkan peserta di ruang kelas untuk menyerap materi, mereka juga akan diajak untuk belajar langsung pada figur pemimpin yang telah terbukti kepemimpinannya (learning from giants), mengunjungi institusi yang telah dikelola dengan kepemimpinan yang hebat, serta pada akhirnya mentransmisikan kapasitas mereka kepada lingkungannya menjadi sebuah karya nyata.

Soft skill dan hard skill peserta secara koheren mendapat tempaan pada sesi LDTS (Leadership Development Training Series) yang berlangsung rutin setiap sabtu selama berlangsungnya UI Program. LDTS ini terbagi menjadi 2 sesi setiap minggunya, pagi dan siang, soft skill pada sesi pertama dan hard skill pada sesi berikutnya. Dalam sesi pertama yang dipandu oleh bapak arief munandar, peserta diajak untuk mendalami diskursus tentang kepemimpinan sebagai sebuah kapasitas personal yang terdekomposisi menjadi karakter dan pola pikir. Pak arief langsung menekankan secara terang benderang pada LDTS pertama bahwa kepemimpinan tidak pernah berkaitan dengan jabatan formal struktural, namun merupakan laku yang terwujud sebagai manifestasi kualitas diri seseorang. Terjelaskan sudah mengapa harriet tubman bisa membebaskan ribuan budak amerika kulit berwarna pada masa perang sipil, sementara dirinya sendiri juga seorang budak.

Melalui pertemuan-pertemuan berikutnya, konstruksi ini diulas secara lebih tajam dengan aneka pisau analisa. Bang arief memberikan berbagai contoh melalui pengalaman profesional maupun personalnya, bahkan dengan melibatkan dinamika di antara peserta. Misalnya, di kala ada peserta yang mempertanyakan urgensi menonton film pada sebuah sesi LDTS, beliau serta merta menjelaskan tentang pilihan, bahwa mengikuti segenap rangkaian acara merupakan konsekuensi dari pilihan untuk mengikuti ILDP UI Program. Seorang pemimpin harus senantiasa mampu berdamai dengan konsekuensi-konsekuensi tersebut, itulah karakter kepemimpinan sejati. Pelajarannya, jika anda berjumpa dengan orang yang banyak memiliki alasan dan punya sejuta tapi untuk hal yang tidak diharapkannya, maka dapat dipastikan bahwa ia bukanlah pemimpin.

Pada sesi ke 2 LDTS, hadirlah para professional, ahli dan praktisi guna mengelaborasi kemampuan peserta di ranah praxis. Mulai dari andri djarot, bima arya, harsya denni suryo hingga febri diansyah dari teknokrat, birokrat, politisi, aktivis hingga penyiar hadir untuk berbagi cerita dan ilmu.
Di sela pelaksanan LDTS, para peserta diajak pula untuk berguru kepada para pemimpin besar yang sudah teruji kepemimpinannya, inilah learning from giants. Di sini para peserta berkesempatan untuk menyelami kebesaran pribadi mereka sebagai sebuah asupan untuk terus bertumbuh menjadi pemimpin yang sebenar-benarnya. Beberapa tokoh yang hadir di sini adalah mahfud MD dan anies baswedan.

Tidak hanya kepada figur para pemimpin para mapres yang luar biasa ini berguru, melalui kunjungan ke beberapa institusi, mereka melihat secara nyata ragam tata kelola manajerial di berbagai lembaga. Kondisi manajerial bukanlah kondisi biner yang terbagi oleh garis demarkasi yang jelas, tentu masih diperlukan banyak upaya mengasah kemampuan para peserta ILDP UI Program ke depannya dalam ranah ini, namun kunjungan-kunjungan ini jelas merupakan sebuah awalan. Beberapa institusi yang disambangi oleh para peserta dalam sesi ini di antaranya, kementerian pendidikan nasional (kemendiknas) dan Biro Prencanaan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN).

Bait penghujung sekaligus paling berkesan dalam lantunan simfoni ILDP UI Program ini adalah proyek sosial “Kampung Sehat Produktif” yang mengambil panggung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bantar gebang. Dengan waktu persiapan yang singkat, para peserta berhasil menggalang sebuah gerakan basis yang kontributif (liputannya dapat disimak di bagian lain news letter ini), di tengah beragam rintangan, mereka berjuang, bertahan dan berhasil. Satu lagi pesan pak arief dalam sesi LDTS terbukti, bahwa sesungguhnya seorang pemimpin tiada boleh menyalahkan kondisi eksternal di luar dirinya, “we are what we think”.

Akhirnya, ini hanyalah bagian pertama, dari sebuah kisah yang hingga kini masih terus ditulis kelanjutannya. Bagian kedua, ketiga dan seterusnya, semoga kelak akan tergurat indah dalam ruang peradaban negeri ketika karya-karya besar 36 mapres peserta ILDP UI Program serta semua kepadanya para peserta berbagi mimpi, hadir untuk membawa ibu pertiwi bangkit dari segenap keterpurukannya hari ini.Semoga!

Di ruang rindu, kita bertemu_Letto_

June 08, 2010

Pendidikan, Akselerator Sejati Pembangunan

Meminjam istilah peter drucker di tahun 1966, dunia modern akan berujung pada sebuah era yang disebut era ekonomi pengetahuan (knowledge economic). Pada era itu, diskursus tentang pertumbuhan ekonomi akan mengintegrasikan faktor teknologi sebagai variabel vitalnya. Hari ini, prediksi tersebut terbukti, studi ekonomi kontemporer memasukkan penguasaan teknologi sebagai salah satu pemacu pertumbuhan ekonomi selain kuantitas modal dan tenaga kerja. Hal ini dipicu oleh berkembang pesatnya barang modal berteknologi tinggi serta pembaruan produk dan sistem produksi yang membutuhkan daya adaptasi kemampuan kognitif yang tinggi. Menurut stiglitz, inilah yang memisahkan negara maju dan berkembang, kemampuan untuk mengelola faktor produksi yang berujung pada signifikansi nilai tambah atas proses produksi yang kita lakukan.

Pendidikan, tidak terbantahkan, merupakan instrumen utama untuk melakukan enkulturisasi, pembudayaan menuju bangsa yang lebih beradab, termasuk di dalam proses ini adalah peningkatan kapasitas ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuanlah, teknologi akan berkembang, peningkatan ilmu pengetahuan masyarakat pada gilirannya akan merevitalisasi kemampuan penguasaan teknologi. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan merupakan sebuah katalis yang berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

Ironisnya ketika pemerintah mampu melakukan realokasi anggaran APBN untuk memuluskan proyek perikanan berbasis konsep minapolitan yang katanya demi kemajuan di sektor ekonomi, anggaran pendidikan mengalami stagnansi pada angka 20% dari anggaran belanja negara. Berdasarkan diskusi dengan wakil menteri, profesor fasli djalal dalam sebuah kesempatan, angka 20% inipun ternyata tidak murni, karena nyaris separuhnya merupakan anggaran gaji guru dan tunjangan profesi.

Menyikapi hal ini, pemerintah harus kembali mengingat narasi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 sebagai konsensus bersama dan sumber hukum tertinggi indonesia. Bukan tanpa alasan bila frase mencerdaskan kehidupan bangsa ditempatkan persis setelah memajukan kesejahteraan umum. Pendiri-pendiri bangsa ini, sejak awal telah menyadari betapa pentingnya kecerdasan bangsa yang hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu. Dengan komitmen untuk mengembangkan pendidikan secara progresif, maka jalan menuju kesejahteraan umum akan terbuka. Pembuatan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagai upaya pelepasan sebagian tanggung jawab negara dan komodifikasi pendidikan-yang pada akhirnya diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK)-menegaskan betapa para pembuat kebijakan telah mengalami disorientasi, tersesat dari konsepsi sejati bangsa tentang pendidikan.

Tidak ada jalan lain, sebuah revolusi paradigmatik harus segera dilakukan, untuk membangun dunia pendidikan secara lebih holistik, bukan hanya sekedar sebagai ruang publik tempat ilmu pengetahuan dipertukarkan, namun lebih dari itu, sebagai sebuah akselerator penting pembangunan dan pertumbuhan. Tentu hal ini hanya mungkin terlaksana dengan political will yang kuat serta termanifestasikan secara nyata dalam segala lini kebijakan pendidikan. Hanya dengan begitu, akan datang waktu bagi generasi penerus untuk “mencairkan” deposito luhur yang telah kita investasikan hari ini, atas nama pendidikan yang memerdekakan, mencerdaskan serta mensejahterakan bagi seluruh rakyat Indonesia.

May 20, 2010

Marketisasi Pergerakan Mahasiswa: Sebuah Reposisi Utuh


Di era berkembangnya jejaring sosial dan komunitas dalam kehidupan masyarakat yang kian urban (atau dijadikan urban?), serta di tengah kemajuan pesat teknologi yang perlahan tapi pasti mulai menata ulang kehidupan hingga mampu membawa kita hidup di alam lain (baca:dunia maya), segala sesuatu yang tidak mampu adaptif terhadap perubahan dapat dipastikan akan kehilangan tempatnya dalam hingar bingar zaman. Pun demikian dengan pergerakan mahasiswa hari ini. Ibarat komoditi, pergerakan mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral yang berbasiskan nilai serta ideologi (apapun ideologinya), harus berkompetisi-meminjam istilah tzun su-di air yang keruh, manakala mahasiswa sebagai segmen pasarnya, hidup dalam tatanan konstruksi sosial yang kaya akan apatisme, hedonisme dan bahkan pragmatisme ideologis yang secara simultan diintegrasikan oleh mekanisme pasar dalam sendi-sendi kehidupan mahasiswa. Proses ini berujung pada terdemarketisasinya pergerakan mahasiswa, karena pasarlah yang melalui segala dinamikanya menentukan market value dari pergerakan mahasiswa sebagai sebuah komoditi hasil produksi mahasiswa, dengan metodologi gerakan sebagai unit bisnis sekaligus fasilitator tangan pertama dari idealisme orang-orang yang kita panggil dengan sebutan aktivis.

Maka jelas, jika tidak ingin punah, metodologi pergerakan mahasiswa harus mulai kembali mencari bentuknya. Era 1998 telah berlalu, dan meski semangat dan flavour militansinya harus terus kita tumbuh kembangkan dalam proses kaderisasi gerakan, namun jelas bahwa banyak hal telah menjadi tidak lagi sama dengan ketika tank dan panser menjadi kawan akrab aktivis mahasiswa.
Tetap terkait dengan analogi pergerakan mahasiswa sebagai sebuah komoditi, untuk dapat menjadi market leader, maka ia harus mampu menerapkan strategi PDB yang solid, bijaksana serta prima, tepat guna sekaligus tepat sasaran. PDB (positioning, differentiating, branding) merupakan inti dari 3 elemen marketing menurut hermawan kertajaya, yang terdiri dari elemen strategi, taktik dan value. Tiga elemen Strategi adalah Segmentation, Targeting, dan Positioning (STP), dengan Positioning sebagai intinya. Tiga elemen Taktik adalah Differentiation, Marketing-Mix, dan Selling (DMS), dengan Differentiation sebagai intinya. Sementara tiga elemen Value adalah Branding, Service, dan Process (BSP), dengan Branding sebagai intinya.

Berbicara tentang elemen yang pertama yaitu elemen taktik, pada dasarnya terkait dengan pemetaan pelaku pelaku pergerakan mahasiswa. Siapa itu pelaku gerakan?di mana mereka?. Dalam korelasinya dengan upaya untuk memarketisasi pergerakan mahasiswa, sudah saatnya cakrawala intelektualitas sebagai dasar proses analisa guna mencari jawab dari pertanyaan tersebut ditata ulang, jawabannya bukanlah lagi hanya para orator di panggung-panggung aksi massa atau para pemikir yang melingkar bersama di ruang-ruang diskusi mengkaji permasalan bangsa, namun jawabannya bisa jadi juga mahasiswa yang menggubah lagu daerah yang kaya kearifan lokal dengan aransemen kontemporer untuk kemudian membawakannya di panggung-panggung mereka, bisa jadi juga olahragawan yang dengan medali yang diraihnya mampu mengibarkan sang saka di negeri orang. Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka pergerakan mahasiswa akan mampu melakukan positioning sebagai gerakan milik semua, yang dalam segmenting serta targeting mampu memandang pergerakan mahasiswa secara paripurna, sehingga terciptalah inklusifisme gerakan yang berujung pada meluasnya episentrum gerakan.

Berikutnya masuk pada elemen taktik, yang merupakan turunan dari strategi besar yang sudah dirancang sebelumnya, pergerakan mahasiswa harus mampu ”tampil beda”, tidak hanya berbeda secara semu, namun benar-benar secara subtantif. Dalam hal ini terdapat dua hal yang seharusnya kita kedepankan sebagai pembeda pergerakan mahasiswa dengan gerakan-gerakan sejenis yang juga dibangun oleh kaum civil society, yakni kemurnian dan intelektualitas gerakan. Jika ditelaah secara lebih mendalam, hal inilah yang sebenarnya dapat diolah menjadi competitive advantage pergerakan mahasiswa. Meskipun tak dapat disangkal, pergerakan mahasiswa juga harus mengektrapolasi dirinya dalam kurva politik, namun ia harus terus membarikade diri pada ranah politik moral serta nilai dan bukannya politik kekuasaan, ia harus mampu bebas dari kooptasi kepentingan politik beserta pelakunya,termasuk parpol. Pergerakan mahasiswa harus terus bergerak dengan berlandaskan pada kesadaran kritis akan masih adanya sesuatu yang salah dan harus diperbaiki, karena bila tidak, akan terus ada kelaparan, derita serta nestapa di negeri ini. Dengan demikian, pergerakan mahasiswa dapat hadir dengan lebih elegan, mengetuk hati-hati para pelakunya yang berasal dari beraneka golongan serta latar belakang, karena biar bagaimanapun, kapital serta ideologi tidak terbagi rata, sedangkan moral serta hati nurani, seberapapun besar atau kecilnya memiliki bentuk yang sama pada diri setiap orang, di mana itu hanya bisa disentuh melalui sebuah gerakan berbasis kemurnian, bukan kepentingan pragmatis. Terkait intelektualitas gerakan, maka sudah seharusnya, mahasiswa sebagai oknum intelektual membangun kajian-kajian yang cergas sebagai landasan gerakan, bukan semata bereaksi karena emosi, justru pencerdasan yang terinternalisasilah dasar guna membangun militansi yang tulus secara emosional. Setelah mampu tampil beda, dan telah terdiferensiasi dari kerumunan pasar, adalah sebuah keniscayaan untuk mengintegralkan diri dengan marketing mix yang menarik, hingga kemurnian dan intelektualitas sebagai basis gerakan akan terjual dan menjadi komoditi dengan daya akselerasi yang tinggi di dalam pasar nilai dan budaya mahasiswa. Marketing mix dalam bisnis identik dengan 4 p (produk, place, promotion, dan price), intisarinya adalah tentang alur hingga sebuah komoditi hadir di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks pergerakan mahasiswa, segenap public sphere milik mahasiswa harus dijadikan tempat untuk mulai membangun alur gerakan, sejalan dengan semangat ”untuk semua” yang telah dijabarkan sebelumnya. Transfer ilmu serta nilai harus terus berjalan secara kontinu tidak hanya melalui berpuluh halaman kajian para aktivis, namun juga melalui media yang lebih luas daya jangkaunya, mulai dari jejaring dunia maya seperti facebook, twitter dan blog hingga seminar publik, panggung pentas kesenian, lomba-lomba riset, hingga pertandingan olahraga.

Dan akhirnya, terkait dengan elemen nilai (value), inilah elemen yang berperan sebagai ruh dan jiwa dari sebuah komoditi. Meski tak kasat mata,namun elemen ini berperan penting agar sebuah komoditi dapat hidup tumbuh dan berkembang. Branding, Service dan Process, inilah dasar dari strategi marketisasi pada elemen nilai. Bila kita bingkai konsep ini dengan keberlangsungan pergerakan mahasiswa, maka hal ini terkait dengan isu yang diangkat sebagai brand, bagaimana pengangkatan isu gerakan dapat kongruen dengan pelayanan (service) pada rakyat. Telah berlalu saat-saat di mana kebebasan berpendapat dikebiri oleh rezim otoritarian, hari ini gerakan civil society bebas untuk mengekspresikan dirinya, penguasa pun dipilih dengan relatif demokratis, isu perjuangan pun harus bertransformasi dari isu sipol (sipil, politik) ke isu ekosob (ekonomi, sosial, budaya) agar konsisten dengan kebutuhan masyarakat yang mendambakan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, harga pangan yang murah, serta lapangan pekerjaan yang luas dengan remunerasi yang baik. Dan akhirnya, Roma tidak dibangun dalam semalam, pergerakan mahasiswa pun harus terus berproses secara kontinu bukan layaknya koboi yang baru beraksi ketika ada masalah yang timbul, pola gerakan yang reaktif dan hanya mengangkat isu yang seksi tanpa mengkorelasikannya dengan keadaan nyata masyarakat harus ditinggalkan.

Melalui rangkaian strategi di atas, dibarengi dengan komitmen tinggi para pelakunya, maka pergerakan mahasiswa akan kembali menemukan dirinya lagi secara utuh, kembali bersinar dan disegani, serta pada akhirnya mampu mewujudkanperubahan demi persada yang sejahtera untuk semua. HIDUP RAKYAT INDONESIA!

March 19, 2010

UU BHP Chapter 1: Membangun Ruang Publik yang Tanpa Hati


”a spatial concept, the social site or arena where meanings are articulated, distributed and negotiated, as well as constituted body, by in this process, the public”


Begitulah jurgen habermas mendefinisikan sebuah konsep yang kini kita kenal dengan sebutan public sphere. Atau dalam bahasa persatuan kita, ruang publik. Ruang publik secara simplistis, mencoba menyarikan konsep habermas, adalah tempat bagi pemikiran, gagasan dan pengetahuan untuk dipertukarkan. Konsep ini merupakan jawaban habermas bagi kebutuhan akan hadirnya ruang kolektif yang mampu mengungkapkan segenap kepentingan masyarakat secara gamblang.
Menurut habermas, masyarakat selalu memiliki tiga kepentingan, yaitu kepentingan teknis akan penyediaan sumber daya natural, kepentingan praktis untuk berinteraksi dengan sesamanya, dan akhirnya, kepentingan kekuasaan. Masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini. Pertentangan antar kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Bagi habermas, Ruang Publik adalah wahana di mana setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian mereka terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan maasalah-masalah yang mereka hadapi.
Pendidikan, dengan segala aspeknya tidak dapat kita lepaskan dari konsep ruang publik. Melalui pendidikan, ilmu pengetahuan dipertukarkan tidak hanya sebagai sebuah komoditi, atau aset intagible menurut ilmu ekonomi, namun lebih dari itu, sebagai sebuah sarana enkulturisasi dan sosialisasi untuk membentuk insan-insan yang lebih berdaya dan mampu memberdayakan, hal ini sesuai dengan konsep ruang publik, di mana melalui pendidikan pada tataran ideal, masyarakat diharapkan dapat mencapai konsensus serta menciptakan solusi untuk mengatasi masalah bersama melalui ruang publik.
Lalu bagaimana kita dapat mendefinisikan pendidikan yang telah memenuhi kualifikasi ruang publik yang ideal? Jawabannya pun telah sedikit diuraikan di atas, yani ketika pendidikan mampu menjamin aksebilitas setiap elemen masyarakat untuk memperolehnya.
Pertanyaan kunci berikutnya adalah, sudahkah pendidikan di Indonesia terjamin aksebilitasnya? Hari ini, inilah pertanyaan yang menggelayuti dunia pendidikan kita, ketika Undang-Undang BHP (Badan Hukum Pendidikan) muncul sebagai sebuah upaya sistemik liberalisasi pendidikan. Melalui konstruksinya, UU BHP menisbikan peran negara dalam penyediaan pendidikan bagi seluruh rakyat. Terdegradasinya peran negara (deregulasi) adalah salah satu ciri utama liberalisasi yang percaya bahwa keterlibatan negara akan menjadi variabel penghambat efisiensi yang terpolarisasi melalui dinamika pasar, hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan tergusurnya pendidikan dari ranah publik ke ranah privat. Sebuah kesesatan berpikir yang nyata, mengingat tidak logis untuk memprivatisasi sektor yang seharusnya bebas dari kompetisi, karena secara struktural, hanya kompetisi yang dapat menekan harga ke tingkat yang lebih rendah. Inilah akar persoalan yang mengakibatkan banyak anak bangsa yang harus mengubur dalam-dalam keinginan luhurnya untuk mengenyam pendidikan karena faktor ketidaktersediaan modal.
Maka, haruskah kita diam? Atau terus berjuang karena Undang-Undang ini kini tengah berada dalam proses Judicial Review, yang akan segera diputus oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dalam waktu dekat. Pilihan itu sudah begitu nyata, seterang surya di atas mega, mari rapatkan barisan untuk sebuah perjuangan!HIDUP PENDIDIKAN RAKYAT INDONESIA!

March 06, 2010

The Case of Century: Enlightenment in The Middle of Storm

For everything that we got, we must lost something, and for everything that lost we will receive something (Ralph Waldo Emerson)

Every decision has its own risk whether it is positive or negative, life is about taking choices, we manage to established progress in our life with the decision that we’ve made as the catalyst. So do in the case of Century bank, which rises above as a populist case recently. Many people blame the decision to save the Century bank and accuse it as a systemically arrange corruption, at least the legislative body in Senayan clearly believe that the decision isn’t necessary to be made. That’s the risk of a decision, every people in this democratic republic has their own freedom to share opinions. For me, before I state mine, let’s take a closer look to the variables that construct the decision, in an objective point of view.

Move backward, the decision to bailout the Century bank was made in the middle of the financial crisis storm started in United States of America (U.S.A.), because the failure to pay the debt of housing credit happened massively in there. This brings a domino effect to countries along the world, including Asia. Based on the assessment of the International Monetary Fund (IMF) in November 2008, Japan will achieve a negative 0,2 % economic growth, while China and India will get ahead of a decreasing economic growth in the same period. In Dow Jones, Hansen, Nikkei and other important stocks exchange across the globe hit by a rapid slump of the exchange rate. In Indonesia, by that time the IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) sharply move downward from 2830 in January 2008 to 1155 in November. This is signs that financial crisis is a factual threat. Other variant of indicators also affirm it, when our foreign exchange reserve decline to 12% only from September to November 2008, and our CDS (Credit Default Swap) getting higher constantly, this indicates that Indonesia is in an unsafe financial circumstances.
In this stormy condition, Century bank rises as a problematic bank because of its financial disability. After numbers of meeting between Bank Indonesia (B.I.) and the minister of finance, from 13th to 19th of November 2008, B.I. then as K.S.S.K with the minister of finance as the head of the body to conduct a meeting in order to make an overview over Century bank situation ann take actions to solve it. Finally after the process, K.S.S.K. declares Century bank as a fail bank with a systemic impact. The fed of Indonesia then ask L.P.S. (Lembaga Penjamin Simpanan) to take over the process related to Century bank.

Based on Perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan), a systemic impact is a difficult condition causes by banks, non bank financial institution and/or financial market fluctuation which if it doesn’t be solve will causes failure for other banks and non bank financial institutions which will lead to distrust for Indonesian’s financial system and national economy. In Indonesia, to assess a bank as a systemic bank, the central bank uses two basic variables:
• Too big to fail: When a bank has a big volume of many aspects such as the value of its assets and the value of its transaction.
• Too interconnected to fail: When a bank has a enormous interconnection with other banks and financial institution.
According to the variables, there are 15 banks included to SIB (Systemically Important Bank), in here; Century bank doesn’t include in the list. But during the time of crisis, this measurement definitely needs to be adjusted. Because in the bank industry, trust is a very essential factor which define the persistence of a bank. This factor has a strong and relevant correlation with human nature that disposed to avoid risk, not to mention the asymmetric information received by the customer about the real situation of the bank. This can guide the market to an over reacted response, therefore to decide about the possibility of systemic impact, he psychological situation of the financial market needs to be calculate to.

Other characteristic of bank industry is that a bank has to manage the maturity mismatch between the customer’s funds which move in a short period traffic, compare to the funds, the bank gives to its creditor which move in a long term traffic. IN normal term, banks will manage the maturity to make the customers keep saving their money. But in the term of crisis, when deterioration rises to a bank, related to its liquidity, the market will distrust the bank, this in its turn will causes rush in the bank industry. In crisis, this bad perception can contaminate the whole sector and causes the same thing (rush) in other banks, even the healthy one. This is a really dangerous prospect to the bank industry.

This is the main reason why Century has to be saved. Because by that time K.S.S.K decide, Century’s CAR (Capital Adequacy Ratio) already fell down to negative 3, 5 %. This is a frail condition that as explained above can bring a contagious effect to other banks, especially peer banks with identical volume. B.I. calculates in the period, there are 23 peer banks exist with less more same liquidity problem, thus the central bank believes that closes the Century bank will affects other banks and elaborate the crisis widely.

So, after the outlook above, it is clear that the decision was made as an optimal effort of those who have the authority to guard the national financial circumstances and monetary balance. Every fraud happened during the process must be revealed of course, in the name of justice. Every party that took what they shouldn’t must responsible to the law. But the policy itself is a different thing, it was built upon a logical assessment with a right philosophic value. Every people stands for the decision doesn’t have to be accused for corruption, they only do what they got to do.

February 27, 2010

Untuk Malam..

Terdiam..terpendam..

Marketisasi Pergerakan Mahasiswa: Sebuah Reposisi Utuh

Di era berkembangnya jejaring sosial dan komunitas dalam kehidupan masyarakat yang kian urban (atau dijadikan urban?), serta di tengah kemajuan pesat teknologi yang perlahan tapi pasti mulai mengkonstruksi ulang tata kehidupan kita hingga mampu membawa kita hidup di alam lain (baca:dunia maya), segala sesuatu yang tidak mampu adaptif terhadap perubahan dapat dipastikan akan kehilangan tempatnya dalam hingar bingar zaman. Pun demikian dengan pergerakan mahasiswa hari ini. Ibarat komoditi, pergerakan mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral yang berbasiskan nilai serta ideologi (apapun ideologinya), harus berkompetisi-meminjam istilah tzun su-di air yang keruh, manakala mahasiswa sebagai segmen pasarnya, hidup dalam tatanan konstruksi sosial yang kaya akan apatisme, hedonisme dan bahkan pragmatisme ideologis yang secara simultan diintegrasikan oleh mekanisme pasar dalam sendi-sendi kehidupan mahasiswa. Proses ini berujung pada terdemarketisasinya pergerakan mahasiswa, karena pasarlah yang melalui segala dinamikanya menentukan market value dari pergerakan mahasiswa sebagai sebuah komoditi hasil produksi mahasiswa, dengan metodologi gerakan sebagai unit bisnis sekaligus fasilitator tangan pertama dari idealisme orang-orang yang kita panggil dengan sebutan aktivis.

Maka jelas, jika tidak ingin punah, metodologi pergerakan mahasiswa harus mulai kembali mencari bentuknya. Era 1998 telah berlalu, dan meski semangat dan flavour militansinya harus terus kita tumbuh kembangkan dalam proses kaderisasi gerakan, namun jelas bahwa banyak hal telah menjadi tidak lagi sama dengan ketika tank dan panser menjadi kawan akrab aktivis mahasiswa.
Tetap terkait dengan analogi pergerakan mahasiswa sebagai sebuah komoditi, untuk dapat menjadi market leader, maka ia harus mampu menerapkan strategi PDB yang solid, bijaksana serta prima, tepat guna sekaligus tepat sasaran. PDB (positioning, differentiating, branding) merupakan inti dari 3 elemen marketing menurut hermawan kertajaya, yang terdiri dari elemen strategi, taktik dan value. Tiga elemen Strategi adalah Segmentation, Targeting, dan Positioning (STP), dengan Positioning sebagai intinya. Tiga elemen Taktik adalah Differentiation, Marketing-Mix, dan Selling (DMS), dengan Differentiation sebagai intinya. Sementara tiga elemen Value adalah Branding, Service, dan Process (BSP), dengan Branding sebagai intinya.

Berbicara tentang elemen yang pertama yaitu elemen taktik, pada dasarnya terkait dengan pemetaan pelaku pelaku pergerakan mahasiswa. Siapa itu pelaku gerakan?di mana mereka?. Dalam korelasinya dengan upaya untuk memarketisasi pergerakan mahasiswa, sudah saatnya cakrawala intelektualitas sebagai dasar proses analisa guna mencari jawab dari pertanyaan tersebut ditata ulang, jawabannya bukanlah lagi hanya para orator di panggung-panggung aksi massa atau para pemikir yang melingkar bersama di ruang-ruang diskusi mengkaji permasalan bangsa, namun jawabannya bisa jadi juga mahasiswa yang menggubah lagu daerah yang kaya kearifan lokal dengan aransemen kontemporer untuk kemudian membawakannya di panggung-panggung mereka, bisa jadi juga olahragawan yang dengan medali yang diraihnya mampu mengibarkan sang saka di negeri orang. Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka pergerakan mahasiswa akan mampu melakukan positioning sebagai gerakan milik semua, yang dalam segmenting serta targetingnya mampu memandang mahasiswa secara holitik, sehingga terciptalah inklusifisme gerakan mahasiswa yang berujung pada meluasnya episentrum gerakan.

Berikutnya masuk pada elemen taktik, yang merupakan turunan dari strategi besar yang sudah dirancang sebelumnya, pergerakan mahasiswa harus mampu ”tampil beda”, tidak hanya berbeda secara semu, namun benar-benar secara subtantif. Dalam hal ini terdapat dua hal yang seharusnya kita kedepankan sebagai pembeda pergerakan mahasiswa dengan gerakan-gerakan sejenis yang juga dibangun oleh kaum civil society, yakni kemurnian dan intelektualitas gerakan. Jika ditelaah secara lebih mendalam, hal inilah yang sebenarnya dapat diolah menjadi competitive advantage pergerakan mahasiswa. Meskipun tak dapat disangkal, pergerakan mahasiswa juga harus mengekstrapolasi dirinya dalam kurva politik, namun ia harus terus membarikade diri pada ranah politik moral serta nilai dan bukannya politik kekuasaan, ia harus mampu bebas dari kooptasi kepentingan politik beserta pelakunya,termasuk parpol. Pergerakan mahasiswa harus terus bergerak dengan berlandaskan pada kesadaran kritis akan masih adanya sesuatu yang salah dan harus diperbaiki, karena bila tidak, akan terus ada kelaparan, derita serta nestapa di negeri ini. Dengan demikian, pergerakan mahasiswa dapat hadir dengan lebih elegan, mengetuk hati-hati para pelakunya yang berasal dari beraneka golongan serta latar belakang, karena biar bagaimanapun, kapital serta ideologi tidak terbagi rata, sedangkan moral serta hati nurani, seberapapun besar atau kecilnya memiliki bentuk yang sama pada diri setiap orang, di mana itu hanya bisa disentuh melalui sebuah gerakan berbasis kemurnian, bukan kepentingan pragmatis. Terkait intelektualitas gerakan, maka sudah seharusnya, mahasiswa sebagai oknum intelektual membangun kajian-kajian yang cergas sebagai landasan gerakan, bukan semata bereaksi karena emosi, justru pencerdasan yang terinternalisasilah dasar guna membangun militansi yang tulus secara emosional. Setelah mampu tampil beda, dan telah terdiferensiasi dari kerumunan pasar, adalah sebuah keniscayaan untuk mengintegralkan diri dengan marketing mix yang menarik, hingga kemurnian dan intelektualitas sebagai basis gerakan akan terjual dan menjadi komoditi dengan daya akselerasi yang tinggi di dalam pasar nilai dan budaya mahasiswa. Marketing mix dalam bisnis identik dengan 4 p (produk, place, promotion, dan price), intisarinya adalah tentang alur hingga sebuah komoditi hadir di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks pergerakan mahasiswa, segenap public sphere milik mahasiswa harus dijadikan tempat untuk mulai membangun alur gerakan, sejalan dengan semangat ”untuk semua” yang telah dijabarkan sebelumnya. Transfer ilmu serta nilai harus terus berjalan secara kontinu tidak hanya melalui berpuluh halaman kajian para aktivis, namun juga melalui media yang lebih luas daya jangkaunya, mulai dari jejaring dunia maya seperti facebook, twitter dan blog hingga seminar publik, panggung pentas kesenian, lomba-lomba riset, hingga pertandingan olahraga.

Dan akhirnya, terkait dengan elemen nilai (value), inilah elemen yang berperan sebagai ruh dan jiwa dari sebuah komoditi. Meski tak kasat mata,namun elemen ini berperan penting agar sebuah komoditi dapat hidup tumbuh dan berkembang. Branding, Service dan Process, inilah dasar dari strategi marketisasi pada elemen nilai. Bila kita bingkai konsep ini dengan keberlangsungan pergerakan mahasiswa, maka hal ini terkait dengan isu yang diangkat sebagai brand, bagaimana pengangkatan isu gerakan dapat sejalan dengan pelayanan (service) pada rakyat. Telah berlalu saat-saat di mana kebebasan berpendapat dikebiri oleh rezim otoritarian, hari ini gerakan civil society bebas untuk mengekspresikan dirinya, penguasa pun dipilih dengan relatif demokratis, isu perjuangan pun harus bertransformasi dari isu sipol (sipil, politik) ke isu ekosob (ekonomi, sosial, budaya) agar konsisten dengan kebutuhan masyarakat yang mendambakan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, harga pangan yang murah, serta lapangan pekerjaan yang luas dengan remunerasi yang baik. Dan akhirnya, Roma tidak dibangun dalam semalam, pergerakan mahasiswa pun harus terus berproses secara kontinu bukan layaknya koboi yang baru beraksi ketika ada masalah yang timbul, pola gerakan yang reaktif dan hanya mengangkat isu yang seksi tanpa mengkorelasikannya dengan keadaan nyata masyarakat harus ditinggalkan.

Melalui rangkaian strategi di atas, dibarengi dengan komitmen tinggi para pelakunya, maka pergerakan mahasiswa akan kembali menemukan dirinya, kembali bersinar dan disegani, serta pada akhirnya mampu menginisiasi perubahan demi persada yang sejahtera untuk semua. HIDUP RAKYAT INDONESIA!

February 07, 2010

NYLC: Memulai Bercerita


Cukup lama blog gw jadi ajang buat menumpahkan pemikiran-pemikiran gw, tentang apa saja, tentang banyak hal mulai dari isu kontemporer nasional hingga persoalan yang hadir di UI, kampus gw. Tapi kini, akhirnya gw sampe pada sebuah kesadaran lugu bahwa bahwa sayang juga ini blog ini kalo cuman dibuat begituan :p

Kini, gw akan coba untuk mulai mengisahkan tentang gw. Bukannya narsis (dikit mungkin, hehehe), tapi sekedar mencoba mendokumentasikan laju hidup ini, laju yang terbingkai oleh satu yang selalu pergi tanpa kembali, yaitu waktu.

Kali ini adalah tentang keberuntungan gw, yang secara kebetulan mendapatkan kesempatan ikut serta dalam NYLC (National Youth Leadership Course), yang diadakan di wisma kodel, kuningan, Jakarta, di tanggal 3-4 februari kemarin.

Berawal dari aksi tunjuk tangan gw saat anak-anak BEM UI ngumpul santai seraya mengevaluasi acara yang baru berlangsung, g yang notabene angkatan muda dan baru menjabat sebgai staf, langsung tancap gas menyalip para senior yang entah mengapa (yang jelas mereka sama sekali belum tau tentang makanannya yang mak nyus!)tampak lunglai untuk ikut.

Jadilah bersama tiga oknum lainnya se BEM (nice journey isn't it, lang, jul, ndar?), gw berangkat mengembara ke daerah kuningan, ke wisma kodel tepatnya, ga pernah denger kan sebelumnya??sama.

Selama 2 hari 2 malam, kami digembleng oleh pembicara-pembicara yang luar biasa, mulai dari effendi ghazali dengan kerbaunya hingga rocky gerung yang sukses membuat kita semua berpikir bahwa hidup ini dan pilihan untuk berTuhan adalah sangat sangat salah. Pak arfan (penulis buku best seller the law of happines) membuat kami yang hadir sadar soal keburukan tunjuk menunjuk, pemimpin selalu mengambil seluruh tanggung jawab yang ada atas situasi, menunjuk ke dalam boi!

Selain beroleh ilmu, gw juga bertemu dengan banyak sahabat baru (aminnn y Allah, bisa jadi sahabat), yang unik, yang hebat, yang bersinar X). Saat ini kami sedang rajin-rajinnya membangun jaringan via facebook (lewat blog juga dong, biar blog gw makin rame..)

Kini, gw kembali ada di depok, di labkom fe tepatnya, menunggu mobil yang akan membawa gw bertemu seseorang dan memohon perusahaanya jadi sponsor acara gw (doakan!), namun kenangan itu insyaallah bakalan terus hidup, tak ikut pergi, bersama waktu.

Aku adalah bintang, yang menjadi malam..
malam ini yang berwarna sewarna relung yang paling dalam, mengada atas nama cinta..
Aku dan kau..
Berdansa..
Bukankah kita sama?

_Ditulis untuk rekan-rekan sejuang_

January 31, 2010

Elegi, Elegi: Sekali(LAGI) Bergerak


Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal materi dan ide. Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji revolusioner. Bimbingkanlah tangan si pembanting tulang dan budak belian itu hari ini dan besok; bawalah mereka menerjang benteng musuh yang rapi itu! Di sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner! Di muka barisan laskar itulah tempatmu berdiri dan kerahkanlah teman sejawatmu menerjang musuh; inilah kewajiban seorang yang berhati singa! Dirikanlah di tengah-tengah laskarmu itu satu pusat pimpinan, tempat menjatuhkan suatu perintah kepada mereka semua yang haus serta lapar itu, dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut mereka dengan bersungguh hati

Kalimat di atas diguratkan oleh Tan Malaka pada bab 12 buku aksi massa tulisannya, yang berjudul "khayalan seorang revolusioner",sebuah judul yang bagi penulis cukup melukiskan isi dari bab tersebut. Tan Malaka yang resah serta galau terhadap konstruksi kultural yang ditandai dengan hegemoni kejawaan, serta dialektika komunal antara kiri, kanan dan tengah yang terjadi, kemudian memaparkan sebuah "khayalan" sebagai antitesisnya, inilah akhirnya satu-satumya yang bisa dilakukan oleh oleh orang yang menyebut Budi Oetomo sebagai "binatang pemalas" lalu menahbiskan National Indische Party sebagai organisasi yang pincang dan penuh keragu-raguan.

Penulis tidak akan berbicara mengenai ideologi, ataupun latar belakang sejarah yang mungkin berkorelasi dengan tulisan ini.Secara sederhana tulisan ini hanya ingin mencoba menghadirkan sebuah refleksi bagi kita para insan yang kaya akan salah dan lupa. Bahwasanya dasar dari sebuah gerakan terinspirasi oleh kutipan diatas adalah adanya kesadaran akan nilai kemerdekaaan yang terenggut. Ini adalah sebuah pengertian yang universal, lintas zaman dan golongan, karena gerakan ikhwanul muslimin yang dibangun oleh Al-Imam Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghrib yang lahir pada bulan Maret 1928 pun, sedikit banyak hadir dengan berlandaskan rasa terjajah, terjajah oleh sistem, lingkungan dan pola hidup kebangsaan yang tidak islami. Pula hegel, karena rasa terjajahnya oleh kerangka berpikir kaum rasionalis (Locke cs.) yang tidak mamberi ruang pada metafisika akhirnya kemudian menciptakan peta pemikiran yang samasekali baru.

Bila kita kaitkan dengan kondisi bangsa ini, yang di atas tanahnya tongkat dan batu pun akan menjadi tanaman, maka bangsa inipun sejatinya masih terjajah, terjajah oleh apa? kooptasi kepentingan asing, kemiskinan, kebodohan ataupun amoralitas bangsa hanyalah serangkaian produk dari sebuah msalah yang lebih makro,dari sebuah "Rangkaian keputusan sepihak", dengan analoginya adalah seseorang yang membeli mobil untuk kepentingan keluarganya, maka ketika komunitas orang-orang ini berkumpul di jalan raya, elaborasi dari keputusan-keputusan sepihak untuk membeli mobil tadi,akan berujung pada masalah bersama yakni kemacetan.

Contoh aktual, pada bidang ekonomi, keputusan-keputusan sepihaklah yang mengakibatkan pembangunan ekonomi kita mandul, hanya semata, meminjam istilah Prof Sri Edi Swasono, berorientasi pada social wellfare bukan societal wellfare. Ketika pasar dalam negeri dibuka lebar bagi produk asing, dan sebagian pihak memutuskan untuk berlomba-lomba mengeruk keuntungan, rangkaian keputusan yang dibangun secara parsial tersebut akan berimplikasi pada tidak adanya cukup sumber daya bagi mereka yang tidak memiliki modal, di mana akhirnya kaum yang termarjinalkan ini akan mambebani keseluruhan sistem, untuk kemudian menjadi masalah bersama. Demikian pula dengan birokrat yang memutuskan untuk korupsi atau menerima suap, guru yang mencari bocoran, lelaki yang menangis karena patah hati dan mahasiswa yang menjual idealismenya, semua ini akan terekstrapolasi dalam sebuah kurva kehidupan.

Maka jelas,ada sebuah gerakan yang harus dibangun oleh generasi revolusioner hari ini sebagai respon atas keterjajahan. Gerakan yang militan, holistik, intelek dan inklusif ke arah perbaikan yang sistemik dan mengakar,tidak sekedar hit and run.

Lalu, masihkah kita?saya jawab: masih! Karena bila berpulang pada falsafah gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai, yang berbasiskan ideologi serta nilai-nilai moral, gerakan mahasiswa sudah seyogyanya menjadi inisiator gerakan perbaikan ini. Berbekal kemurniannya,dengan cakrawala keilmuan dan idealismenya,inilah saatnya mahasiswa bangkit, dengan sumbangsih konkret, menyadarkan yang belum mengerti akan arti kemerdekaan. Meminjam slogan pemira lalu: kalau bukan kita,siapa lagi???

SEMOGA CUKUP MENGINSPIRASI BAGI MEREKA YANG KECEWA DAN SEDANG BERHENTI. HIDUP RAKYAT INDONESIA!!!

_untuknya_

January 06, 2010

Akhir Kidung Pemira


Akhirnya, PEMIRA IKM UI 2009, sebuah kisah indah kepanitiaan yang penuh dengan haru biru, ujian, cobaan, inspirasi dan pelajaran hidup, berakhir sudah. Seperti sering dikatakan-dan saya percaya ini-, akhir sebuah kisah adalah awal kisah yang lain. Saya, juga saudara-saudara saya yang bersama mereka telah mengangkasa segala asa, akan segera kembali, terpisah tempat, bersatu hati, untuk berkisah lagi, dengan persahabatan ini mengabadi, nanti, di tempat kami masing-masing berkontribusi.
Sedih jelas, walaupun telah banyak terukir janji, kelak nanti tetap saling menyediakan waktu untuk bersama, sungguh kisah ini tidak akan terulang lagi. Saat-saat tidur di Pusgiwa, makan, tidur, mandi (?!), menangis, tertawa, dan mencipta keajaiban bersama (termasuk rekor sebagai pemira dengan pemilih terbanyak untuk pemilihan Ketua dan wakil ketua BEM, tersedikit untuk MWA-UM, terpaling menghabiskan kertas, terulang, terkejut, dan teruskan! teruskanlah segala benar yang telah kami tegakkan!).
Sudahlah, postingan ini hanya tentang satu puisi yang saya tulis untuk kemudian bacakan di akhir Pelantikan mereka yang terpilih, bertempat di SC FEUI pada 5 januari 2010 yang lalu.
KALAU BUKAN KITA, SIAPA LAGI..(akan terus mengingatnya, sangat inspirasional!)

Risalah sebuah jakun..

Andai kami bisa menggoreskan kata dan bersuara..
Akan kami tulikan, akan kami pekikkan!
Betapa bangganya kami padamu..

Wahai pengembara yang bersahaja, mengada atas nama cinta..
Melintas bumi, sebagai pejuang yang sejati..

Untuk rintih lapar mereka..
Untuk sedu sedan mereka..
Untuk kerinduan mereka, akan cerahnya langit nirmala indonesia..

Kami mohon, janganlah surut berjuang!
Terbanglah ke angkasa..
Menyelamlah ke dasar palung samudera!
Pergilah ke ujung pelangi, dan ceritakan tentang perjuangan ini..

Biar kuserap semua peluhmu..
Biar kuseka air matamu..
Biar kubalut lenganmu yang mengangkasa, seraya berteriak bangga..
HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!

Terimakasih yang setulus-tulusnya pada Allah SWT (God is the director), kedua orang tua dan keluarga saya, segenap keluarga panitia PEMIRA IKM UI 2009, segenap yang terlibat dengan cara apapun, sebagai apapun, dalam PEMIRA IKM UI 2009, UI, malam, pagi, bintang, dan tentunya hujan..



January 04, 2010

sebuah perjalanan, sebuah bintang: memulai kembali..