June 08, 2010

Pendidikan, Akselerator Sejati Pembangunan

Meminjam istilah peter drucker di tahun 1966, dunia modern akan berujung pada sebuah era yang disebut era ekonomi pengetahuan (knowledge economic). Pada era itu, diskursus tentang pertumbuhan ekonomi akan mengintegrasikan faktor teknologi sebagai variabel vitalnya. Hari ini, prediksi tersebut terbukti, studi ekonomi kontemporer memasukkan penguasaan teknologi sebagai salah satu pemacu pertumbuhan ekonomi selain kuantitas modal dan tenaga kerja. Hal ini dipicu oleh berkembang pesatnya barang modal berteknologi tinggi serta pembaruan produk dan sistem produksi yang membutuhkan daya adaptasi kemampuan kognitif yang tinggi. Menurut stiglitz, inilah yang memisahkan negara maju dan berkembang, kemampuan untuk mengelola faktor produksi yang berujung pada signifikansi nilai tambah atas proses produksi yang kita lakukan.

Pendidikan, tidak terbantahkan, merupakan instrumen utama untuk melakukan enkulturisasi, pembudayaan menuju bangsa yang lebih beradab, termasuk di dalam proses ini adalah peningkatan kapasitas ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuanlah, teknologi akan berkembang, peningkatan ilmu pengetahuan masyarakat pada gilirannya akan merevitalisasi kemampuan penguasaan teknologi. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan merupakan sebuah katalis yang berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

Ironisnya ketika pemerintah mampu melakukan realokasi anggaran APBN untuk memuluskan proyek perikanan berbasis konsep minapolitan yang katanya demi kemajuan di sektor ekonomi, anggaran pendidikan mengalami stagnansi pada angka 20% dari anggaran belanja negara. Berdasarkan diskusi dengan wakil menteri, profesor fasli djalal dalam sebuah kesempatan, angka 20% inipun ternyata tidak murni, karena nyaris separuhnya merupakan anggaran gaji guru dan tunjangan profesi.

Menyikapi hal ini, pemerintah harus kembali mengingat narasi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 sebagai konsensus bersama dan sumber hukum tertinggi indonesia. Bukan tanpa alasan bila frase mencerdaskan kehidupan bangsa ditempatkan persis setelah memajukan kesejahteraan umum. Pendiri-pendiri bangsa ini, sejak awal telah menyadari betapa pentingnya kecerdasan bangsa yang hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu. Dengan komitmen untuk mengembangkan pendidikan secara progresif, maka jalan menuju kesejahteraan umum akan terbuka. Pembuatan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagai upaya pelepasan sebagian tanggung jawab negara dan komodifikasi pendidikan-yang pada akhirnya diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK)-menegaskan betapa para pembuat kebijakan telah mengalami disorientasi, tersesat dari konsepsi sejati bangsa tentang pendidikan.

Tidak ada jalan lain, sebuah revolusi paradigmatik harus segera dilakukan, untuk membangun dunia pendidikan secara lebih holistik, bukan hanya sekedar sebagai ruang publik tempat ilmu pengetahuan dipertukarkan, namun lebih dari itu, sebagai sebuah akselerator penting pembangunan dan pertumbuhan. Tentu hal ini hanya mungkin terlaksana dengan political will yang kuat serta termanifestasikan secara nyata dalam segala lini kebijakan pendidikan. Hanya dengan begitu, akan datang waktu bagi generasi penerus untuk “mencairkan” deposito luhur yang telah kita investasikan hari ini, atas nama pendidikan yang memerdekakan, mencerdaskan serta mensejahterakan bagi seluruh rakyat Indonesia.