December 31, 2009

2010


sekali lagi melukis pagi..

December 30, 2009

Elegi Kampus Kuning bagian 1: BOPB sang Pemimpi


sambut hari baru di depanmu
sang pemimpi siap untuk melangkah
beri tanganku jika kau ragu
bila terjatuh ku kan menjaga
kita telah berjanji bersama
taklukkan dunia ini..


Nukilan kata-kata di atas mungkin cukup akrab di telinga kita tempo-tempo belakangan ini. Masih bersama-meminjam istilah andrea hirata-duo kribo, riri reza dan mira lesmana, film kedua yang diangkat dari tetralogi laskar pelangi karya andrea hirata, menyeruak di tengah jagat hiburan tanah air, “Sang Pemimpi” muncul di tengah-tengah kita diiringi alunan harmoni lagu karya GIGI yang berjudul sama. Kata-kata di atas adalah sebagian dari lirik lagu tersebut.

Sudah menontonnya? Tulisan ini bukan meresensi film “Sang Pemimpi”, jadi teruslah membaca kalaupun jawabannya adalah tidak, walaupun kalau memang ada rejeki lebih, saya sangat merekomendasikan bagi anda untuk menontonnya, Insyaallah sangat apik dan inspiratif.

Dalam film tersebut, dikisahkan tentang Ikal dan Arai, 2 anak muda melayu yang tertatih menjalani hidup mereka di tengah dera cobaan, mulai dari himpitan ekonomi, hingga harus ditinggal pergi oleh yang dicinta. Mereka diperas lalu dihempas laksana butir timah yang memenuhi Belitong, kampung halaman mereka. Meski begitu, dengan modal impian, ya hanya impian, mereka sukses melakukan lompatan luar biasa ke Paris, berkuliah di Sorbonne, sebagai mahasiswa program pasca sarjana, belajar di bilik-bilik kelas yang dulu kala menjadi tempat eksperimennya marie curie serta berdiskusinya montesqieu. Lepas dari adanya dramatisasi dalam film atau bahkan novelnya, kisah ini diangkat dari kisah nyata. Konklusinya, di luar sana ada 2 orang yang sukses membuktikan secara telak, keburukan dari menyerah.
Andai sudah menyerah, mereka tidak akan bisa meraih impiannya, berkuliah di UI, lalu sorbonne, menjadi insan yang besar, prestasi, juga jiwanya.

UI? ya, yang saya maksud sebagai kampus kuning adalah UI kampus saya, ikal dan arai (paling tidak berdasarkan filmya, ada sedikit perbedaan dari versi novelnya), sempat menghabiskan beberapa tahun hidup mereka di UI, sebelum terbang ke eropa hingga keduanya ditahbiskan sebagai sarjana ekonomi (ikal) dan biologi (arai). Dengan impian, mereka membayar-meminjam istilah kontemporer kampus saya ini-BOP (Biaya Operasional Pendidikan)nya. Impian membuat mereka terjaga dari mimpi buruk kala tiada serupiahpun (atau dalam mata uang lainnya), kiriman dari orang tua yang menyambangi mereka, hingga mereka bekerja apa saja yang halal secara serabutan untuk bertahan di UI.

Pertanyaanya sederhana, hari ini, berapa banyak orang yang memiliki keberanian setara mereka untuk memperjuangkan impian layaknya mereka. Jika jumlahnya banyak, maka asumsi saya, harusnya sudah ada puluhan bahkan ratusan novel, lagu, atau film layaknya tetralogi laskar pelangi yang berangkat dari kisah nyata. Sangat tidak empiris memang data di atas, namun tetap saya yakin bahwa hari ini, di atas tanah air ini, orang-orang yang telah menyerahkan kemurnian falsafah pendidikan kita pada kapitalisme global yang tidak manusiawi, berbasis informasi yang asimetris dan idealisasi buta pada kondisi pasar, telah menggerus keberanian kita untuk bermimpi bersekolah tingi, bahkan kemudian membuat banyak orang terbunuh oleh impiannya itu (pernah dengar, ada anak yang gantung diri karena malu tiada sanggup membaya SPP).

Tak perlulah tulisan ini membumbung terlampau jauh, contoh konkrit telah terjadi di kampus yang dengan gagah menyandang nama Indonesia, UI.

UI dan Elegi

Hari ini, ketika tulisan ini dibuat, pihak direktur kemahasiswaan UI tengah mengajukan laporan hasil pelaksanaan sistem Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOPB), beserta evaluasi serta rekomendasi kebijakan pelaksanaan sistem BOPB nantinya untuk 2010. Sistem ini, saya jelaskan sedikit, pada intinya secara filosofis, ingin membuat semua orang membayar sesuai kemampuannya, berbagai data diolah serta divaluasi untuk kemudian menghasilkan besaran uang tertentu dalam sebuah kisaran.

Sayang, pada faktanya, sistem yang lahir pada tahun 2008 ini, telah bermasalah selama 2 tahun pelaksanaannya, bukan saja akibat kesalahan sistem yang berdampak teknis, namun juga akibat sekelompok oligarkis yang telah nyata berkhianat pada cita-cita preambule UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sarana pencerdasan kehidupan bangsa dijadikan lahan untuk mereguk untung. Saat itu, mahasiswalah yang melalui kesma lembaga eksekutif kemahasiswaan menjadi ksatria-ksatria gagah berani,berjibaku dengan peluh dan air matanya guna mengawal pelaksanaan sistem BOPB ini. Secara nyata, keterlibatan mahasiswa dalam sistem BOPB telah mengkonstruksi sebuah mekanisme kontrol, yang kendatipun tentu masih belum sempurna, berhasil mereduksi efek negatif dari BOPB.

Maka tahukah anda isi rekomendasi direktur kemahasiswaan UI, atas nama mahalum se-UI pada rektor yang saat ini suratnya telah diterima oleh rektor? Kemahasiswaan UI bersepakat akan menyerahkan pelaksanaan BOPB 2010 (apapun nanti namanya), termasuk pula pembangunan sistemnya, pada bagian keuangan, dengan tidak lagi melibatkan mahasiswa, kecuali sebagai surveyor bagi mahasiswa baru yang ingin melakukan banding.Tanpa persentuhan langsung dengan mahasiswa baru yang merupakan subjek dari BOPB, maka upaya advokasi dari lembaga eksekutif mahasiswa via kesma akan kehilangan daya jelajahnya, karena tidak bisa mengawal proses dari awal dan baru terlibat saat ada banding.

Sangat perlu dipertanyakan kemudian, apakah Rektorat melalui komponen yang dimilikinya cukup kompeten untuk menjamin adanya distribusi informasi yang cergas bagi para calon pahlawan muda UI 2010, agar mereka memahami keseluruhan sistem pembayaran yang mereka hadapi dengan tepat, termasuk memahami bahwa besaran yang diterima tidak bersifat final, dan masih ada banding, temasuk memahami bahwa tidak akan ada anak UI yang harus berhenti bermimpi lantaran alasan keuangan. Lalu kemudian setelah itu, pihak rektorat harus pula untuk membangun motivasi para calon peserta didik, untuk terus bermimpi dengan memberikan wawasan tentang variabel-variabel yang dapat lebih memperingan lagi beban mereka, seperti aneka beasiswa atau kebijakan pinjaman lunak bagi mahasiswa. Mampukah?atau saya pertajam, maukah rektorat? harap diingat, ini akan mereka lakukan tanpa dikawal oleh mahasiswa.

Pula ketika sistem ini dilimpahkan pada bagian keuangan, maka tidak bisa disangkal, potensi konflik kepentingan akan merebak dan bisa berujung pada penyalahgunaan kuasa, hal ini mengingat posisi bagian keuangan sebagai garda terdepan pemenuhan RKAT setempat fakultas. Tentu ini bukan generalisasi, ada memang mereka yang masih putih hatinya, namun apakah tanpa, lagi-lagi terlibatnya mahasiswa sebagai mitra kritis, dapatkah dijamin bahwa tidak akan ada yang hitam di sana.

Penghujung

Akhirnya, untuk rekan-rekan UI maupun bukan, jangan hanya diam!, saatnya kembali mengkritisi isu pendidikan dan mengawalnya sebagai isu sentral bangsa, jadikan kejadian di UI ini sebagai refleksi untuk mengkaji persoalan secara makro.Dan teruntuk rekan-rekan seperjuanganku secara khusus, mari kembali bergerak dengan elegan dan militan, agar bila hari ini, di sudut dunia ini, ada sang pemimpi yang berhasrat untuk bergabung dengan kita di sini, ia tak harus menyerah untuk bermimpi, karena Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan yang tidak adil. HIDUP PENDIDIKAN INDONESIA!!!

Maka sang pemimpi, ayo bernyanyi lagi..
sambut hari baru di depanmu
sang pemimpi siap untuk melangkah
beri tanganku jika kau ragu
bila terjatuh ku kan menjaga
kita telah berjanji bersama
taklukkan dunia ini..

_untuk hujan, engkaulah satu-satunya_

December 25, 2009

Untuk hari-hari yang telah lalu, sebelum keajaiban ini menyapaku..




I wish u were here..n now you are, thankz hujan..

December 24, 2009

Coffe (susu) theory


Di Indonesia, hanya ada 2 pilihan: menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya -Soe Hok Gie.


Tidak realistis?impian kosong? atau bisa jadi sebagian dari kita, bahkan tidak mengerti apa itu idealis dan apa itu apatis.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata sifat idealis diidentikkan dengan orang yang memiliki cita-cita tinggi, kemudian idealisme sendiri masih menurut KBBI berarti:
1 aliran ilmu filsafat yg menganggap pikiran atau cita-cita sbg satu-satunya hal yg benar yg dapat dicamkan dan dipahami; 2 hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yg dianggap sempurna; 3 Sas aliran yg mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dng kenyataan.

Entah disadari atau tidak, melalui proses yang dinamis dan simultan serta bersifat kultural, bagi bangsa ini, benda bernama idealisme kemudian erat dikaitkan dengan mereka yang secara sadar memiliki keberanian untuk bersikap moderat atau bahkan ekstrem terhadap sistem. Tentu tidak asing bagi kita seseorang atau bahkan sebuah lembaga disebut "terlalu idealis" lantaran laku dan bijaknya tak sejalan dengan kebenaran yang berlaku sistemik. Hingga di ujung kisah, orang-orang yang hidup dengan idealismenya pun pada akhirnya menjadi termarjinalkan dalam tataran sosiologis, dan meskipun mampu mengguncang hari-hati mereka yang melihat perjuanganya, pada akhirnya idealisme mereka berujung pada tetap melangitnya substansi dari pemikiran-pemikiran mereka sendiri.

Jadi tulisan ini ingin menyerang orang-orang yang idealis? tidak. Bukankah telah ditegaskan di atas, bahwa persoalannya adalah dinamika kultural yang terjadi, bahwa di negeri ini, berhak tidaknya anda memiliki klaim atas kebenaran kongruen dengan besarnya kapital yang anda miliki, atau sederhananya di negeri nirmala ini, kebenaran dapat divaluasi, dengan modal sebagai besarannya. Penguasa dapat memutarbalikkan fakta historis karena memiliki kekuasan, korporatokrasi perusahaan-perusahaan besar pun memperoleh legitimasi untuk mengendalikan sistem perekonomian serta pada akhirnya menjustifikasi siapa yang benar maupun tidak di dalam sistem, pun karena uang. Pada titik inilah, cita-cita mereka yang berstatus sebagai kelompok minoritas menjadi disalahartikan bukan lagi sebagai sebuah pemikiran alternatif, namun sebagai sesuatu yang salah, tanpa memperdalamnya secara subtantif. Jadilah pejabat yang setia tidak korupsi, perusahan yang rela budget iklannya dipotong 7% demi menaikkan upah buruhnya hinga 25% (Nilainya secara nominal adalah sama, tanyakan saja pada nike Indonesia, walaupun mereka belum sudi melakukannya), atau mahasiswa yang menghabiskan waktunya untuk mengkaji isu strategis bangsa di akhir pekan dan bukannya pergi dugem, mendapat label "sok idealis".

Pilihannya sekarang bagi para orang idealis di persada ini adalah, seperti gie, mencoba hingga batas yang sejauh-jauhnya, atau berhenti. Berhenti memperjuangkan idealismenya?bukan. Namun berhenti mencari batas yang sejauh-jauhnya itu, dan mulai melihat kemungkinan di dekatnya. Saya memilih yang ke 2. Inilah hari di mana idealisme harus mulai mencari cara-cara yang lebih proporsional. Selain guna memperluas daya jangkau dari ide itu sendiri, ia pun akan berhenti menampik dirinya sendiri, ketika akhirnya berhasil membuka jalan bagi sang kebenaran sistemik untuk melakukan introspeksi kolektif. Konkritnya bagi saya, tiada lain dan bukan, adalah menceburkan idealisme yang kita punya langsung pada sang kebenaran sistemik itu sendiri, di mana akan terbuka ruang bagi dialektika yang konstruktif, hingga akhirnya kita akan bertemu di satu titik.Menjual idealisme?tidak. Inklusifitas tidak lantas membuat kita harus kehilangan jati dari, justru diperlukan jati diri yang kuat dan berkarakter untuk menempuh solusi ini layaknya analogi susu yang ketika masuk dalam kopi, mampu mencerahkan warnanya dan bukannya turut larut berwarna hitam.

Akhirnya, harap diingat bahwa tulisan ini hanya mencoba mengulas tentang idealisme yang berorientasi pada perubahan, entah positif atau sebalikya, karena tiada benar yang absolut selain milik sang Khalik yang agung. Karena sungguh bagi saya, itu semua kembali berpulang pada persepsi masing-masing.

Dan maaf jika di sini tidak dibahas tentang apatis ataupun yang tidak mampu membedakannya, antara idealis dan apatis, karena saya bukan sedang menulis bagi orang yang apatis dan jelas bahwa jika anda tidak memahami tentang apa itu apatis dan idealis, maka bagi saya anda adalah orang yang apatis.

Tidak realistis?impian kosong? TIDAK DAN TIDAK AKAN PERNAH..


Ditulis setelah ngambeknya sang hujan (Maafff, u're always be that star ko, yey!^^)


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkQQim71SyxCHJyzkayKQgtMjpUzJBMKKWByE9dFJEipvEYIExn26VQRgqW4uAi-k_oF9rC6sUcXSTUNCSZWYUskm_I1xvsiCG8Y-u0fYt-AbGh_F-FQahrIVcJ2xtiarPtLUs1oF259wq/s220/2-gie.jpg

December 22, 2009

Aku

Inilah postingan pertama di blog ini, dibuat di tengah hiruk pikuk Ujian Akhir Semesterku. Aku, ya tentu saja ini tentang aku, dan segenap pandanganku. Tentang cinta yang jingga, suka dan cita, duka yang durjana, hujan dan terik, gelap dan terang, pagi dan malam, tentang hatiku dan hatinya, juga hati-hati mereka, tentang hidup dan maknanya bagiku.

Aku bukanlah nabi yang hanya berkata yang baik lagi benar, maka maafkankan, wahai siapa pada dirinya aku mungkin akan menggoreskan luka kelak, dengan opini atau tulisanku, semoga semuanya dapat terkapitalisasi menjadi sebuah pembelajaran bagi kita. Sungguh besar harapku, bahwa sekecil apapun, aku akan mampu bersamamu, menggoreskan bait-bait perjuangan itu sebagai inspirasi bagi hati-hati yang kelabu.

Aku akan terbang ke langit biru, lalu menyelam ke dasar palung samudera. Aku akan melukis langit dan berbincang tentangmu dengan sang awan. Aku akan melaju bersama gelombang, menghempas karang dan terus menerjang. Kenapa? Karena aku percaya bahwa untuk terus hidup, manusia harus ”bergerak”,sebagai rasa syukur bahwa kita telah diijinkan menjadi bagian dari konstelasi besar sang maha menghidupkan.

Aku akan bercerita, aku akan memuja, aku akan menangis dan tertawa, terhempas, memuai dan mengganda, layaknya plutonium dalam sebuah reaktor nuklir. Aku adalah seorang pencari dan penanti, pujangga dan pecinta, pengembara yang mencari bintang hidupnya.

Dan, Akulah aku, Terlahir ke dunia pada 14 Juni 1989, aku sekarang adalah mahasiswa semester 3 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mencoba bersinar seterang jaket kuningnya, mencoba bertahan di dunia yang sewarna lambang makara fakultasnya, berwarna abu-abu, dan mencoba setia dengan janjinya pada hati-hati yang merindu, merindukan cerahnya langit dalam hidup mereka. Anak ke 4 dari 6 bersaudara yang tengah berjuang mengubah pandangannya tentang hal-hal yang terkait dengan fakta ini, tinggal di Depok secara de facto, walau resminya di sebuah kota pinggiran bernama Bekasi. Menghabiskan waktunya untuk insyaallah beriman pada Allah dan Rasulnya, berikhsan karenanya, berkuliah, bergerak, menulis, mendengar, membaca, mengkaji, menyanyi, mencipta dan mencinta. Tempat favoritku selain meja makan adalah tempat-tempat di mana aku bisa melihat cahaya bintang di malam hari. Insan idolaku adalah ibuku. Tergila-gila pada Musik, Kahlil Gibran, para pejuang itu, Doraemon, novel, komik, anime, es krim strawberry, susu strawberry dan semua yang bisa dicocolkan pada sambal terasi.^^

Inilah awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan keajaiban..

Inilah lagu, dengan manis getir hidupku menjadi nadanya..

Inilah aku dan blog ini..

Inilah hatiku berucap terimakasih yang setulus-tulusnya untuk sang hujan yang membantuku menciptanya..(Thx y, ayo senyuummm^^)