October 29, 2010

Menerobos Identitas Ilusif, Menuju Indonesia Satu


Bertahan satu cinta, bertahan satu C.I.N.T.A._D'bagindaz

Di bawah langit kota Depok pada suatu malam bulan Agustus lalu, penulis terlibat diskusi dengan seorang rekan. Diskusi ini merupakan kelanjutan dari diskusi kami beberapa malam sebelumnya dengan beberapa mahasiswa dari Universitas Cendrawasih (Uncen) yang kami temui sebagai peserta dalam sebuah even di Universitas Indonesia (UI), kampus kami. Dalam kesempatan itu, sahabat-sahabat dari Uncen tersebut bertutur tentang tanah kelahirannya yang selama bertahun lamanya telah jatuh terjerambab dalam kegelapan. Ketertinggalan dalam hingar bingar akselerasi pembangunan, kekerasan dan pelanggaran HAM oleh militer Indonesia, marginalisasi sosial serta krisis identitias politik, berpadu menjadi satu meluluhlantakkan cita dan harapan rakyat Papua. Untuk mereka, masihkah ada Indonesia? Demikian pertanyaan yang mengakhiri diskusi di malam berhujan itu.


Tersebutlah bunga (nama samaran), seorang anak kecil berumur sekitar 10 tahun yang cukup populer di kalangan mahasiswa UI, terutama di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Budaya serta Psikologi. Setiap hari bunga hilir mudik di fakultas-fakultas tersebut menjajakan aneka rupa komoditi, mulai dari keripik hingga permen, sekedar untuk beberapa lembar ribuan. Eksistensinya kian terangkat karena sikapnya yang ceria dan ramah, beberapa mahasiswa pun akhirnya menjadi relasi bisnis, alias pelanggan tetap bunga. Untuk bunga, masihkah ada Indonesia? Keadaannya mungkin akan jauh lebih baik bila ia kita hijrahkan ke Amerika Serikat yang memiliki sistem jaminan sosial yang holistik untuk menjamin kehidupan orang-orang seperti bunga.


Untuk setiap yang membaca tulisan ini, apakah Indonesia masih ada? Untuk menjawabnya mari kita berpetualang ke sebuah masa ketika tanah nirmala kita ini masih belum bernama Indonesia. Pada masa itu, segenap gugus kepulauan jajahan Kerajaan Belanda yang hari ini kita kenal sebagai tanah air kita, bernama Hindia-Belanda. Adalah J.R Logan yang pertama kali menggunakan terminologi Indonesia sebagai sebuah pengertian geografis murni dalam tulisannya yang dimuat oleh Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, berjudul “The Ethnology of the Archipelago”[1]. Sejak 1922, nama ini kemudian mengemuka secara politik, ketika secara konsekuen digunakan oleh Muhammad Hatta bersama Perhimpunan Indonesia yang didirikannya. Bung Hatta secara terang benderang menyebutkan bahwa nama Indonesia kala itu merepresentasikan sebuah tujuan politik untuk merdeka dan impian warga Indonesia tentang tanah airnya di masa depan[2]. Bung hatta menyadari betul bahwa diperlukan sebuah identitas bersama untuk meleburkan segenap bangsa dalam perjuangan bersama. Selebihnya, hamparan sejarah memperlihatkan bagaimana setelah itu nama Indonesia diperjuangkan mulai dari Den Haag hingga Ambarawa, dari meja perundingan hingga medan pertempuran, hingga akhirnya mampu berdiri berdaulat. Maka jelas sudah bahwa Indonesia pernah ada, setiap jejak perjuangan dalam ruang peradaban kita, mulai sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan hingga Konferensi Meja Bundar adalah saksinya. Tidak sekedar menjadi ada, ia lahir dan merdeka sebagai awal perwujudan sebuah tujuan mulia-mengutip sutan syahrir- yaitu rakyat yang bebas berkarya!


Bila secara reflektif kita telaah, narasi di atas sesungguhnya berkisah tentang kuasa identitas. Disadari atau tidak, letupan-letupan yang menjadi pendorong utama perjuangan Indonesia lepas dari penjajahan dan menjadi benar-benar ada selalu berkait erat dengan rekonstruksi identitas. Ketika identitas kedaerahan luruh menjadi satu identitas kebangsaan, saat itulah pergerakan nasional menuju kemerdekaan dimulai. Saat Hatta memproklamirkan identitas kebangsaan Indonesia di kancah internasional , mulai dari Perancis dalam Kongres Demokrasi untuk Perdamaian hingga Belgia dalam Liga Internasional Menentang Imperialisme dan Kolonialisme, saat itulah dukungan internasional untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia perlahan tumbuh. Bahkan proklamasi kemerdekaan pun sesungguhnya merupakan sebuah upaya peneguhan identitas, identitas sebagai bangsa yang merdeka.


Sayangnya, bila Indonesia dahulu menjadi ada dan besar karena sebuah kuasa identitas yang digalang, direkonstruksi dan dimodifikasi dengan demikian cergas oleh para pendirinya, keberadaanya kini perlahan lenyap juga karena kuasa identitas. Tidak ada lagi Indonesia hari ini, berganti dengan Cina, Batak, Jawa, kaya, miskin, kiri, kanan, moderat, fundamentalis, sosialis, neo-lib bahkan gaul dan tidak. Seberapa sering anda mendengar orang Jawa berkeluh kesah tentang betapa kasar rekannya yang Batak? Di tempat lain mungkin anda mendengar si Batak bertutur tentang betapa bertele-telenya orang Jawa. Atau bisa jadi anda pernah menyaksikan demonstrasi anti seorang-ketika itu-calon wakil presiden Republik ini yang bermula dari tuduhan tentang identitas ideologis beliau yang konon “neo-lib”. Sering pula kita saksikan sekelompok muslim yang menganggap dirinya sebagai muslim sejati hanya karena meyakini ajaran tertentu secara tidak beradab menggusur hak-hak saudara sebangsanya yang menurut pandangan mereka “berbeda”. Atau anda ingat kejadian di bulan Mei tahun 1998? Perbedaan identitas antara pribumi dan bukan bisa berarti hidup atau mati.


Pertanyaannya kuncinya adalah, sungguhkah kita begitu berbeda? Sungguhkah kini telah tiba masa bagi “benturan antar peradaban” sebagaimana istilah Huntington? Jawabannya akan menjadi ya jika kita tetap memandang konstruksi identitas beserta segenap kekayannya dari sudut tempat kita berdiri saat ini. Dari sudut yang-menurut istilah Amartya Sen- soliteris serta melalui sebuah pendekatan serba tunggal yang egosentris.


Pendekatan yang demikian memandang seorang individu hanya terasosiasi dengan satu jenis identitas serta menafikan asosiasi lain yang terdapat pada individu tersebut. Ini tentu merupakan sebuah kesesatan berpikir yang terang benderang. Dalam dinamika kehidupannya, seorang manusia akan tergabung dalam beragam kelompok dengan beragam dasar klasifikasi pula, mulai dari gender, pandangan politik, keyakinan akan keberadaan Tuhan, selera musik dan sastra hingga kecenderungan seksual. Dalam polarisasi di antara kelompok-kelompok tersebut mustahil untuk memandang salah satunya sebagai satu-satunya identitas yang melekat pada diri seorang individu. Terlebih dalam era di mana perkembangan teknologi telah mempertinggi kompleksitas struktur sosial masyarakat seperti sekarang.


Dalam kaitannya dengan kondisi bangsa Indonesia, pendekatan soliteris terhadap identitas terbukti telah menjadi sumber konflik dan perpecahan. Membentang dari Aceh hingga Maluku, perbedaan identitas membakar negeri ini dengan konflik berdarah. Mulai dari kerusuhan “Malapetaka 15 Januari” hingga pembakaran terhadap toko kaum tionghoa bulan Mei 1998, semuanya merupakan konflik berbasiskan identitas.


Sesungguhnya bentuk identitas yang menjadi penyebab konflik-konflik tersebut merupakan bentuk identitas yang ilusif karena lahir dari pemahaman sesat yang mengkerdilkan identitas dalam sebuah sudut pandang tunggal. Para pendiri bangsa ini di masa lampau telah menorehkan cerita yang cemerlang ketika mereka dengan bijaksana memandu bangsa ini menerobos identitas ilusif tersebut. Nama Indonesia lahir dan menjadi ada untuk menyatukan beragam identitas yang saling bertubrukan kala itu, mulai dari identitas kedaerahan hingga ideologis. Terciptalah nasionalisme sejati yang berorientasi pada persatuan alih-alih ketercerai-beraian. Konsep bhinneka tunggal ika, beraneka rupa tapi tetap satu pun termanifestasikan secara nyata. Hari ini, kita tengah berproses ke arah yang sebaliknya, identitas tunggal yang ilusif dan berangkat dari struktur berpikir yang picik, bertumbuh dengan subur di atas tanah Indonesia.


Dalam kerangka historis, kondisi ini tidak lepas dari pengaruh kebijakan rezim orde baru yang senantiasa berkiblat pada penyeragaman, mulai dari warna gedung sekolah hingga bentuk jamban, telah digariskan oleh pemerintah pusat. Diperparah oleh diskrimasi terhadap kebebasan berekspresi serta kebijakan ekonomi yang tidak pro-poor, terciptalah marginalisasi. Perasaan termarginalkan merupakan awal bagi kejatuhan dalam identitas yang ilusif, hal ini karena marginaliasi selalu berkaitan dengan perilaku membeda-bedakan, di mana dasar pembedaan tersebut seringkali adalah identitas. Kaya atau miskin, Cina atau bukan.


Jawaban bagi ilusi identitas sejatinya adalah revitalisasi konsep bhinneka tunggal ika itu sendiri. Konsep bhineka tunggal ika dalam alam kontemporer tempat kita hidup sering secara keliru digunakan sebagai landasan untuk mempersatukan pluralitas bangsa Indonesia dalam satu konstruksi identitas bersama yang tunggal, dalam sebuah relasi- mengutip jargon tiga pendekar pedang jagoan asal Perancis rekaan Alexander Dumas-satu untuk semua dan semua untuk satu. Melalui konstruksi berpikir ini, multikulturalisme tidak lebih dari utopia dan runtuh menjadi monokulturalisme majemuk semata. Perbedaan mendasar di antara kedua konsep tersebut adalah titik berangkat dalam memaknai identitas. Monokulturalisme majemuk lahir tatkala kompleksitas relasi sosial dalam struktur masyarakat dinegasikan dan setiap individu dipisahkan satu dengan yang lain oleh identitas tunggal yang ilusif. Sedangkan multikulturalisme akan tercipta ketika setiap individu dalam masyarakat dengan segenap atribut yang membentuk identitasnya, mulai dari jenis kelamin hingga pilihan warna, diberikan ruang untuk menciptakan skala prioritas di antara beragam atribut yang melekat pada dirinya tersebut. Skala tersebut tidaklah kaku, namun secara simultan terus berubah, beradaptasi dengan konteks kejadian yang dialami individu bersangkutan, dinamika sosiologis serta ruh zaman. Inilah konsep bhinneka tunggal sejati yang dinamis dan multikultural. Alih-alih mengkotakkan secara imajiner individu-individu dalam masyarakat secara soliteris, dinamika sosial yang terpolarisasi di antara individu-individu tersebut dan beragam atribut yang membentuk identitasnya, diangkat serta dihargai.


Konsep bhinneka tunggal ika yang dinamis dan multikultural akan menjadi cahaya pembimbing bagi bangsa ini untuk keluar dari konsep identitas ilusif yang mengerogotinya. Dengan pendekatan yang demikian, kita akan senantiasa terdorong untuk meluaskan cakrawala sudut pandang kita dalam menyikapi perbedaan menuju toleransi yang hakiki, bukan yang tunggal, soliteris dan egosentris. Orang jawa akan mampu melihat bahwa orang Cina juga orang Indonesia, tiada berbeda dengan dirinya. Sahabat-sahabat kita dari Uncen pun akan kemudian dipandang sebagai saudara sebangsa, bukan lagi warga marginal dari tanah Papua. Rekonstruksi paradigmatik ini tidak hanya berlaku sebagai solusi dalam ranah perbedaan identitas budaya atau suku, namun juga meliputi segenap perikehidupan bangsa mulai dari seni hingga hukum, ekonomi hingga olahraga. Bunga contohnya, si anak jalanan beban pembangunan, sesungguhnya adalah aset strategis bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia andai pemerintah mengubah skala prioritasnya dalam pemaknaan identitas.


Konsep bhinneka tunggal ika sebagaimana telah dipaparkan, harus dengan segera kita integrasikan dalam ruang-ruang peradaban Indonesia. Dimulai dari yang paling mendasar, alat rekayasa struktural sebuah bangsa, pendidikan. Konsep pendidikan moral kita harus diperkaya oleh konsep bhinneka tunggal ika dalam pengertiannya yang multikultural. Hal ini perlu didukung pula oleh intensifikasi dan ekstensifikasi diskusi antar kelompok dan peradaban dalam masyarakat menuju pencerdasan tentang bagaimana seharusnya identitas disikapi. Pemerintah dan segenap aparaturnya harus mengambil peran penting dalam hal ini, dengan disokong oleh pasar dan masyarakat sipil dalam peran dan kompetensinya masing-masing. Upaya-upaya ini, bila digalang secara konsisten akan menjadi titik balik bagi Indonesia untuk menemukan lagi keberadaan dan martabatnya, untuk sekali lagi menjadi ada dan memerdekakan setiap insannya, seperti dahulu, kali ini bukan dari tentara penjajah, namun dari komprador bernama ketakutan, kemiskinan, kelaparan dan ancaman disintegrasi.


[1] Muhammad Hatta.1998. Pemikiran Lengkap Bung Hatta, Kebangsaan dan Kerakyatan. Jakarta: P.T. Pustaka LP3ES; Cet. ke 1

[2] Ibid., hal. 15