September 13, 2010

Lebaran Berhujan



Entah mengapa alam ini menjadi syahdu beberapa hari belakangan, hujan tiada henti menyelimuti pertiwi paling tidak di tanah depok yang penulis pijak ketika postingan ini diterbitkan.


Mungkin ia menangis sedih, megingat kian jauhnya kita dari haribaan-Nya. Dengan berbagai alasan, bahkan kadang dengan mengatasnamakan kuasa ilahiah milik-Nya kita berjalan pongah di atas bumi, mencela, memfitnah, bergunjing, atau sekedar berprasangka buruk. Mungkin ia menangis sedih, melihat bangsa ini menjadi rumah untuk kelaparan, ketakutan, keterjajahan dan kebodohan. Mungkin pula ia menangisi dirinya sendiri, yang atas nama keserakahan dunia telah begitu sering kita renggut dan perkosa.


Dalam renung, hujan itu tetap tak terbaca, mungkin memang belum waktunya. Yang tersisa hanyalah tanya, di atas parade kefitrian ini, bersama gema takbir ini, bersama opor dan ketupat yang menyambut kita. Dalam lengangnya jakarta yang ditinggal mudik, dalam hujan yang perlahan turun lagi, apa yang tersisa? Sebuah tekad untuk menjadi insan yang lebih baik, atau kosong belaka? Mari, setulus-tulusnya kita bertanya pada hati kita masing-masing.

Di dalam hujan, di depan komputer pusgiwa, Lebaran berhujan