June 22, 2011

Catatan Tentang RUU Pendidikan Tinggi: Retorika atau Terobosan Berharga?

Pamflet yang gw buat untuk BEM UI baru-baru ini untuk diskusi dengan angoota dewan yang terhormat, tentang rakyat.


Dalam rumusan para pendiri bangsa kita, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan bernegara Indonesia. Sebagai konsekuensi logisnya, penyelenggaraan pendidikan sebagai instrumen pelaksananya merupakan tanggung jawab negara. Hari ini, konsep yang demikian menjadi kian tidak relevan. Dinamika global menuntut adanya redefinisi tentang peran serta negara dalam pendidikan di berbagai tingkatannya. Hal ini ditandai dengan mengemukanya konsep good governance yang menuntut pelibatan sektor privat dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, termasuk di sektor pendidikan. Tentu ini tidak berarti bahwa privatisasi harus diterima bulat-bulat dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagaimana sektor privat dan publik dapat saling memperkuat alih-alih harus berdiri sebagai oposan bagi yang lainnya, itulah pertanyaan yang harus sama-sama kita cari jawabnya.

Isu terkini dalam diskursus panjang ini adalah munculnya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Tulisan ini akan mengemukakan beberapa catatan tentang RUU tersebut. Kerja yang lebih holistik dalam isu ini tengah digalang oleh tim kecil kajian RUU PT yang telah dibentuk oleh penulis dalam kapasitasnya sebagai staf ahli bidang pendidikan Pusat Kajian dan Studi Gerakan (PUSGERAK) BEM UI. Dalam waktu dekat, tim ini akan mempublikasikan hasil kerjanya. Tulisan ini hanya merupakan pembuka untuk memantik kesadaran kritis kita bersama. Semoga bisa menjadi bahan untuk memperkuat gerakan pemantauan dan advokasi terhadap proses legislasi RUU PT. Sebagai catatan, tulisan ini dibuat berdasarkan draft tertanggal 7 Juni 2011.

Mekanisme Kontrol: Sebuah Keniscayaan Bagi Proses Transformasi yang Hakiki
Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat perbedaan kapasitas di antara perguruan tinggi-sebagai satuan formal pengelola pendidikan tinggi berdasarkan definisi dalam ketentuan umum RUU PT-baik yang berada dalam lingkup negara dan berbentuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun yang diselenggarakan oleh sektor privat dan berbentuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Situasi ini harus direspon dengan kebijakan yang mampu mengakomodasi perbedaan tersebut. Ini pula yang menjadi landasan bagi redefinisi peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Derajat besarnya peran negara harus disesuaikan dengan kapasitas masing-masing perguruan tinggi agar keterlibatan negara dapat menjadi katalis positif bagi perkembangan perguruan tinggi terkait. Perguruan tinggi yang telah memiliki kapasitas yang memadai harus didorong untuk semakin otonom dari peran negara agar dapat mengembangkan daya saingnya tanpa terkendala oleh hambatan-hambatan birokratis. Sebaliknya, dalam perguruan tinggi yang kapasitasnya belum memadai, negara tidak boleh absen dan dengan segenap daya yang dimilikinya harus memberdayakan perguruan tinggi tersebut. Pemberdayaan tersebut dapat berupa penyertaan kekayaan negara bagi PTN dan bantuan biaya investasi atau biaya operasional bagi PTS.

Dalam implementasinya, bagaimana peran negara diletakkan dalam penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi akan berbanding terbalik dengan otonomi yang dimiliki oleh perguruan tinggi tersebut sebagai sebuah institusi. Merujuk pada RUU PT pasal 46 ayat 1, hal ini akan berdampak pada bentuk perguruan tinggi. Situasi ini menuntut adanya mekanisme kontrol yang jelas dalam mengawal proses transformasi perguruan tinggi dari satu bentuk ke bentuk lain dan dampaknya bagi otonomi yang dimiliki perguruan tinggi terkait. Mekanisme kontrol ini harus meliputi adanya indikator yang jelas bagi sebuah perguruan tinggi untuk diklasifikasikan sebagai perguruan tinggi dengan bentuk tertentu; sistem klasifikasi yang transparan, akuntabel dan berbasiskan meritokrasi serta sistem reward and punishment yang adil. Tanpanya, proses transformasi perguruan tinggi akan terdistorsi dari tujuan hakikinya untuk memajukan pendidikan tinggi, ditelan kepentingan-kepentingan sementara pihak untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Persoalan ini menjadi penting terutama dalam kaitannya dengan bentuk PTN. Berbeda dengan PTS yang-berdasarkan RUU PT-memiliki bentuk tunggal sebagai badan hukum nirlaba, RUU PT mengemukakan adanya tiga bentuk PTN yang berbeda berdasarkan otonominya, yaitu PTN Berbadan Hukum, PTN Mandiri dan PTN Unit Pelaksana Teknis pemerintah (termasuk PTN Khusus). Dalam ketentuan umumnya RUU PT mendefinisikan PTN sebagai perguruan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh kementerian dan PTN khusus sebagai perguruan tinggi yang dikelola oleh kementerian bersama kementerian lain, dan/atau LPNK. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara berperan penuh dalam tata kelola kedua jenis PTN ini tanpa memberikan atau mendelegasikan otonomi yang dimilikinya. Sedangkan PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum berdasarkan pasal 47 dan 59 memiliki otonomi dalam bidang akademik dan nonakademik. Meskipun demikian, terdapat perbedaan dalam hal tata kelola kekayaan negara pada kedua jenis PTN ini. Kekayaan negara pada PTN Berbadan Hukum dapat dikelola secara otonom sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Hal yang sama tidak dijumpai di PTN Mandiri.

Melihat kompleksitas ini, mekanisme kontrol sebagaimana dipaparkan sebelumnya merupakan sebuah keniscayaan. Sayangnya, hal ini belum diatur secara terang dalam RUU PT. Pasal 44 ayat 1 hanya mengatur bahwa perguruan tinggi dapat diberikan otonomi dalam bidang akademik dan/atau nonakademik untuk mengelola lembaganya secara mandiri. Dalam ayat 2 pasal yang sama dijelaskan bahwa pemberian otonomi tersebut dilakukan berdasarkan kemampuan masing-masing perguruan tinggi untuk mengelola lembaganya secara mandiri. Lebih jauh pada pasal 45 diatur bahwa aparatur terkait-baik merepresentasikan negara mapun masyarakat-dapat mengubah ruang lingkup otonomi perguruan tinggi sesuai dengan kewenangannya. Anehnya, tidak ada pasal yang mendefinisikan “kemampuan masing-masing perguruan tinggi untuk mengelola lembaganya secara mandiri” serta indikator apa yang harus digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk mengubah ruang lingkup otonomi perguruan tinggi dalam melaksanakan perubahan tersebut. Dalam kaitannya dengan PTN Berbadan Hukum dan PTN Mandiri, pasal 47 dan 59 hanya mengatur bahwa persyaratan untuk dapat diklasifikasikan sebagai kedua jenis PTN tersebut akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Inilah catatan penting pertama terhadap RUU PT.

Jaminan aksesibilitas: Pendidikan Sebagai Hak Dasar, Masihkah?

Redefinisi peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan pelibatan masyarakat dan sektor privat tidak boleh berpaling dari tujuan bernegara kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Keterlibatan aktor selain negara harus diletakkan sebagai penguat peran negara dalam perwujudkan pendidikan sebagai hak dasar warga negara. Inilah catatan berikutnya terkait RUU PT terutama dalam konteks penyelenggaraan PTN sebagai perguruan tinggi yang melekat-dengan derajat tertentu berdasarkan bentuknya-pada negara.
Paling tidak terdapat dua indikator substansial untuk mengukur peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi berdasarkan RUU PT. Kedua indikator tersebut adalah jaminan negara terhadap eksistensi PTN dan aksesibilitas bagi seluruh warga negara untuk masuk ke PTN.

Menyoal yang pertama, tidak terdapat jaminan negara yang kokoh bagi PTN yang berbentuk PTN Berbadan Hukum. Meskipun pada pasal 97 disebutkan bahwa pendanaan PTN Berbadan Hukum merupakan tanggung jawan pemerintah, masyarakat dan PTN bersangkutan, wujud tanggung jawab pemerintah dalam PTN berbadan hukum tidak termanifestasikan dengan jelas dalam RUU PT.
Merujuk pada pasal 47, kekayaan negara yang terdapat pada PTN Berbadan Hukum berbentuk kekayaan negara yang dipisahkan, artinya bukan merupakan bagian dari Anggaran negara. Pada pasal 32 tentang pendanaan pendidikan tinggi, pendanaan pendidikan tinggi didefinisikan sebagai penyediaan anggaran pemerintah dan anggaran pemerintah daerah provinsi, kapubaten/kota serta upaya memobilisasi bantuan dana masyarakat untuk mencapai tujuaan pendidikan tinggi. Jelas bahwa pendanaan yang berasal dari pemerintah-sebagai representasi negara-harus berasal dari anggaran negara-baik di tingkat pusat maupun daerah-sehingga berdasarkan situasi ini, PTN Berbadan Hukum tidak dapat memperoleh bantuan pendanaan dari negara kecuali dalam bentuk penyertaan kekayaan negara yang dipisahkan pada awal pendirian PTN Berbadan Hukum terkait.

Hal ini dapat dipandang secara positif sebenarnya sebagai upaya untuk melepaskan perguruan tinggi Berbadan Hukum-yang dapat dipandang sebagai model paling maju bagi sebuah perguruan tinggi-dari ketergantungan pada peran negara dan menjadikan perguruan tinggi bersangkutan kian kompetitif. Namun mengingat fungsinya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan bernegara, negara tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya terhadap kelangsungan hidup perguruan tinggi, termasuk yang berbentuk PTN Berbadan Hukum. Hal ini nyata-nyata tidak diakomodasi oleh RUU PT. Tidak ada aturan tentang mekanisme penyelamatan bagi PTN Berbadan Hukum bila sebuah PTN Berbadan Hukum mengalami defisit dalam pendanaannya. Lalu apa yang akan terjadi dengan PTN Berbadan Hukum yang demikian? Mengingat-berdasarkan paparan sebelumnya-PTN Berbadan Hukum juga tidak berhak menerima pendanaan dari negara kecuali dalam bentuk kekayaan awal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, bisa jadi PTN tersebut akan pailit. Merujuk pasal 41 tentang penutupan perguruan tinggi, sebuah perguruan tinggi bisa dicabut izinnya-sebagai bentuk penutupan-oleh menteri pendidikan nasional ketika perguruan tinggi tersebut-salah satunya-tidak lagi memenuhi syarat pendiriannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan bentuknya sebagai badan hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait maka kepailitan sebuah PTN Berbadan Hukum akan berakibat dibubarkannya PTN Berbadan Hukum yang mengalami kepailitan. Hal ini karena institusi tersebut sudah tidak memenuhi syarat sebagai sebuah badan hukum.

Lalu apakah PTN Mandiri dan PTN Unit Pelaksana Teknis dapat dikatakan aman? Secara konseptual ya, karena kekayaan mereka yang berasal dari negara bukanlah kekayaan negara yang dipisahkan. Artinya bila sampai kedua jenis PTN ini mengalami pailit, negara wajib melakukan tindakan penyelematan, karena kepailitan kedua jenis PTN ini juga berarti kepailitan negara. Namun demikian fakta bahwa PTN Mandiri memiliki otonomi nonakademik harus dicermati lebih jauh. Otonomi nonakademik yang dimaksud oleh RUU PT bagi PTN Mandiri meliputi otonomi untuk menetapkan tarif layanan. Artinya untuk menghindari situasi defisit, PTN Mandiri memiliki hak untuk melakukan penyesuaian tarif layanan. Situasi ini-baik pada PTN Berbadan Hukum maupun PTN Mandiri-pada gilirannya berpotensi menstimulus PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum untuk berfokus pada pembangunan kekuatan finansialnya. Ini merupakan pilihan logis bagi PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum agar kelangsungan hidupnya tetap terjamin di tengah absennya tanggung jawab negara. Jika sudah begini, apa yang terjadi dengan aksesibilitas masuk PTN-terutama yang berbentuk PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum?

Jaminan aksesibilitas untuk masuk ke kedua jenis PTN tersebut hanya dijamin oleh pasal 99 untuk PTN Berbadan Hukum dan pasal 103 untuk PTN Mandiri. Dalam pasal tersebut, PTN Berbadan Hukum maupun Mandiri wajib untuk mengalokasikan 20% kuota peserta didiknya untuk calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi tidak mampu secara ekonomi. Ketika negara absen dalam menjamin kelangsungan hidup PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum, maka perguruan tinggi dengan bentuk tersebut tidak memiliki pilihan lain selain mengoptimalkan penerimaan dari peserta didiknya. Hal ini dapat dilakukan dengan meminimalisir jumlah peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi. Dalam kondisi ini, sangat mungkin angka 20% yang ditetapkan sebagai besaran minimal menjadi landasan bagi PTN Mandiri dan PTN Berbadan hukum untuk menetapkan jumlah kuota yang diberikan bagi peserta didik yang lemah kemampuan ekonominya. Akan halnya 80% lainnya, bangku-bangku tersebut hanya akan dapat diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial yang memadai. Meskipun ditetapkan-pada pasal 99 dan 103-bahwa mahasiswa hanya membayar maksimal 1/3 dari besaran biaya operasional, PTN Mandiri dan PTN Berbadan hukum memiliki otonomi penuh untuk menetapkan tarif layanannya. Merespon kondisi tersebut-kembali-hanya 20% peserta didik dengan ciri-ciri yang didefinisikan pada pasal 99 dan pasal 103 ayat 1 (memiliki potensi akademik tinggi namun tidak mampu secara ekonomi) yang dijamin haknya untuk membayar sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki, sedangkan sisanya berada dalam posisi yang rentan terhadap eksploitasi secara finansial.

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa peran negara diletakkan dalam posisi yang sangat rapuh dalam menjamin perwujudan pendidikan sebagai hak dasar berdasarkan konstruksi RUU PT. Adalah benar bahwa otonomi perguruan tinggi dan keterlibatan aktor selain negara adalah sebuah keniscayaan bagi kemajuan pendidikan tinggi. Namun ketika situasi sosiologis di lapangan belum merepresentasikan kapasitas yang ideal, negara tidak boleh absen. Jika tidak demikian, ia akan ingkar pada tujuan keberadaannya.

Keterlibatan Mahasiswa dan Karyawan Dalam Majelis Pemangku
Apa itu majelis pemangku? Tugas pokok dan fungsi serta perannya kurang lebih seperti Majelis Wali Amanat dalam konsep Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Berdasarkan RUU PT pasal 48 dan 60, perguruan tinggi yang memiliki otonomi-merujuk pada PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum-wajib memiliki majelis pemangku sebagai salah satu organnya, selain senat akademik, komite audit dan pimpinan perguruan tinggi. Pada pasal 49-untuk PTN Berbadan Hukum-dan pasal 61-untuk PTN Mandiri-dijelaskan lebih jauh tentang susunan anggota majelis pemangku. Dalam kedua pasal tersebut tidak dijumpai adanya perwakilan mahasiswa dan karyawan perguruan tinggi yang duduk sebagai anggota majelis pemangku.

Mengapa mahasiswa dan karyawan harus duduk di majelis pemangku? Merujuk pada pasal 50 dan 62 RUU PT, majelis pemangku dibentuk salah satunya sebagai representasi dari menteri pendidikan nasional untuk melaksanan tugas dan fungsinya. Tugas dan fungsi menteri pendidikan nasional berdasarkan pasal 6, secara umum meliputi pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan tinggi. Kebijakan-kebijakan ini pada gilirannya akan bersentuhan langsung dengan persoalan-persoalan publik dalam bidang penyelenggaraan pendidikan tinggi atau dengan kata lain merupakan kebijakan publik. Berdasarkan kondisi yang demikian dapat disimpulkan bahwa majelis pemangku-dengan keterbatasan tertentu pada ranah pengawasan berdasarkan pasal 48-merupakan organ yang berperan sebagai regulator dan evaluator kebijakan publik di perguruan tinggi yang menjadi area kerjanya.

Menurut Widodo (2005), era reformasi telah menghembuskan angin perubahan dalam tata kehidupan bernegara kita, termasuk dalam struktur pengambilan kebijakan publik. Dalam persoalan yang disebut belakangan, konsep good governance yang mengemuka menggantikan rule government menghendaki adanya keterlibatan yang lebih luas dari aktor nonnegara untuk meningkatkan kapasitas negara dalam menyediakan layanan publik, terutama terkait transparansi dan akuntabilitasnya. Muncul kemudian wacana yang luas berkembang tentang pelibatan pemangku kepentingan dalam struktur pengambilan kebijakan publik. Apa itu pemangku kepentingan (stakeholders)?

Sejak pertama kali dikemukakan oleh Abrams (1951), teori tentang pemangku kepentingan terus berkembang. Meskipun muncul berbagai pendapat dengan narasi yang berbeda-beda, semuanya berdiri di bawah satu kesepahaman bahwa sebuah institusi-privat atau publik-harus memperhatikan kepentingan, kebutuhan dan pengaruh semua pihak yang terkena dampak kebijakannya. Konsep yang berkembang pada tingkatan negara ini seharusnya juga diimplementasikan dalam tatanan-tatanan yang lebih mikro untuk mengakselerasi perwujudannya. Apalagi dalam konteks majelis pemangku, negara-dengan tingkat tertentu tergantung bentuk hukum PTN terkait-telah mendelegasikan kewenangannya kepada majelis pemangku. Inilah landasan dalam meletakkan peran majelis pemangku pada sebuah perguruan tinggi. Simpulan yang dapat ditarik pada titik ini, majelis pemangku harus dibangun berbasiskan pelibatan yang holistik dari segenap unsur pemangku kepentingan dalam sebuah perguruan tinggi. Kembali pada konsep yang telah dikemukakan sebelumnya tentang pemangku kepentingan, maka sudah seharusnya karyawan perguruan tinggi dan mahasiswa memiliki perwakilan dalam majelis pemangku mengingat mereka juga merupakan pihak yang akan terkena dampak dari kebijakan sebuah perguruan tinggi.

Epilog
Catatan ini bukanlah akhir. Sebaliknya ini merupakan awalan untuk kembali merenungkan RUU PT. Apakah RUU ini akan muncul sebagai terobosan berharga dalam menyelesaikan polemik seputar bentuk hukum perguruan tinggi ataukah memperburuknya? Apakah RUU ini akan menjadi instrumen untuk melepaskan tanggung jawab negara atas perwujudan pendidikan sebagai hak dasar ataukah memperkuat peran negara dalam sebuah kerjasama mutualisme dengan sektor swasta dan masyarakat menuju pendidikan untuk semua? dan apakah RUU ini akan berkhianat pada tujuan bernegara kita atau tidak? Pilihan-pilihan itu tersaji demikian terang. Saatnya semua yang terlibat bekerjasama untuk mencari jawabnya, bukan untuk siapa-siapa melainkan Bangsa Indonesia.

June 02, 2011

Mencari (lagi) Nasionalisme Kita 1


Kenichi Ohmae berkata dalam bukunya yang mendongengkan kiamatnya negara bangsa tentang 4 i (investasi, industri, individualitas dan investasi). 4 hal ini menurut Ohmae akan mengubah wajah dunia yang kita tinggali. Batas antar bangsa yang sekarang ada akan menjadi kian tidak berarti ditelan dinamika globalisasi. Meski agak menggunakan “kaca mata kuda” karena dominannya sudut pandang ekonomi, pandangan ini sedikit banyak mulai terbukti kebenarannya hari ini. Dunia hari ini adalah tempat yang berbeda sama sekali dengan tempat yang ditinggali ayah ibu kita ketika dulu mereka mendengarkan Koes Plus dan bersepatu roda di Binaria. Internet menghubungkan negara-negara yang terpisah ribuan mil dan berada di zona waktu yang berbeda, isu lingkungan makin mengemuka, perang dingin tinggal pepesan kosong, Republik Rakyat Cina sudah bukan negara dengan ekonomi tertutup dan telah tercipta tumblr! Dalam situasi ini, di mana kemudian letak nasionalisme?

Bicara nasionalisme, gw paling suka definisi Soekarno dalam tulisannya untuk merespon tulisan H. Agus Salim yang takut bahwa nasionalisme Indonesia tidaklah berbeda dengan chauvinisme. Dalam tulisan yang gw baca di buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid 1 ini, si bung berkata kira-kira begini “…nasionalisme kita bukanlah jang berasal dari kesombongan bangsa belaka, ia nasionalisme jang lebar-jang berasal daripada pemahaman akan susunan dunia dan riwajat…”. Untuk semua Soekarnois di luar sana, gw minta maaf jika definisi gw salah tapi yang gw tangkap, Soekarno ingin berkata bahwa nasionalisme itu tidak transenden, tiba-tiba datang entah darimana dan tercipta begitu saja. Nasionalisme sejati datang dari pemahaman yang utuh tentang konstelasi dunia dan riwayat bangsa.

Hari ini banyak gerakan masyarakat sipil terutama di kalangan pemuda yang muncul dengan mengatasnamakan cinta pada bangsa-dengan kata lain, nasionalisme. Tidak sedikit yang tumbuh menjadi arus utama dan mempengaruhi hidup ribuan orang lain. Pertanyaannya, sudahkah konsep yang dipaparkan Soekarno sebagaimana gw kutip di atas benar-benar diresapi? kalau sudah,mengapa masih banyak anak muda yang mengaku nasionalis hanya karena menggunakan batik, padahal batik yang mereka pakai merupakan barang impor dari China?? padahal di saat yang sama mereka sebanarnya tengah meminuskan neraca perdagangan kita?? (secara umum, karena dalam ekonomi yang berpengaruh adalah neraca secara agregat, bukan negara per negara). Mengapa banyak pemuda dengan bangga melabeli dirinya aktivis ini itu tanpa tahu tentang sejarah penindasan bangsa Indonesia? tanpa mengerti bahwa semua yang publik di negara ini tengah diliberalisasi? bahwa tidak ada orang miskin di Indonesia, yang ada, dimiskinkan!

Ironis. Mari, mencari lagi nasionalisme kita!

Sampai jumpa di jilid berikutnya seri ini.

May 30, 2011

Transformasi Struktural di Era Ekonomi Pengetahuan dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan bahwa salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai konsekuensinya negara harus berperan secara aktif dalam upaya-upaya pencerdasan kehidupan bangsa, termasuk tentunya penyelengaraan pendidikan. Merujuk pada hal tersebut, jelas bahwa konstitusi yang dirancang oleh para pendiri bangsa ini mengamanahkan perwujudan pendidikan sebagai hak dasar setiap insan Indonesia.

Perubahan Struktural Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi: Ekstrapolasi Ekonomis-Historis
Hari ini, konsep pendidikan sebagai hak dasar mendapat tantangan keras dengan mengemukanya era ekonomi pengetahuan. Dalam era yang kerap disebut sebagai era post- industrial ini, keunggulan kompetitif dalam persaingan ekonomi tidak lagi ditentukan semata oleh faktor modal yang bersifat fisik namun juga kemampuan untuk mengelola ilmu pengetahuan menjadi bentuk-bentuk terobosan kreatif. Hal ini dibuktikan secara empirik oleh Robert Solow melalui teori new growth . Dalam teori yang membawanya memenangkan nobel ekonomi tersebut, Solow menciptakan kerangka kuantitatif yang menggambarkan pertumbuhan investasi dan depresiasi. Solow mengemukakan bahwa pertumbuhan depresiasi akan selalu berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan investasi. Untuk meresponnya dibutuhkan terobosan-terobosan kreatif yang lahir dari penguasaan teknologi. Inilah awal mengarus utamanya konsep ekonomi pengetahuan sebagai-dalam terminologi Habermas-zeitgeist era post-industrial.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi pun tidak luput dari proses transformasi tersebut. Belakangan, pendidikan tinggi semakin dianggap penting. Pendidikan tinggi diharapkan melahirkan berbagai lulusan dengan kepakaran yang tinggi dan mampu menjadi lokomotif penggerak kemajuan suatu negara .

Dalam perspektif historis, serangkaian pegeseran paradigmatik pasca perang dunia kedua turut berdampak pada struktur penyelenggaraan pendidikan tinggi. Profesor W.H.M. Zijm dalam makalahnya yang berjudul “Higher Education and GATS” menjelaskan bahwa kebutuhan akan pemulihan dan transformasi ekonomi pasca kehancuran perang melahirkan beberapa perubahan fundamental dalam paradigma penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Yang pertama adalah berubahnya konsep pendidikan tinggi dari pendidikan yang bersifat elitis menjadi massal. Munculnya-dalam istilah Profesor W.H.M. Zijm-mass higher education ini menjadi penyebab meningkatnya permintaan terhadap pendidikan tinggi. Mengacu pada sumber yang sama, tercatat jumlah peserta didik yang ambil bagian dalam pendidikan tinggi di Eropa Barat sebagai contoh, melonjak hingga dua kali lipat dalam setengah abad terakhir. Ketika jumlah permintaan yang meningkat ini tidak dapat direspon oleh struktur domestik, muncullah internasionalisasi pendidikan sebagai solusi. Dalam kondisi tersebut, kehadiran market (pasar) sebaga instrumen mediasi tidak terhindarkan lagi. Proses ini berujung pada menguatnya peran pasar dalam penyelenggaraan pendidikan.

Konstelasi ekonomi dan ekstrapolasi historis tersebut kemudian bertemu pada satu titik bernama liberalisasi pendidikan. Dalam praktiknya, proses liberalisasi ini kemudian terasosiasi dengan penetrasi kekuatan agen-agen internasional terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi di berbagai negara. Indikator utamanya, Inisiatif-inisiatif kebijakan yang beredar dalam dinamika internasional mengarah pada melemahnya peran negara dalam tata kelola satuan penyelenggara pendidikan tingginya. Meskipun dinamika perubahan ini berbeda-beda tegantung pada konteks politik dan sosial di negara terkait, namun arah dari perubahan-perubahan yang terjadi cenderung serupa . Pemerintah di berbagai belahan dunia mulai dari Amerika Latin, Eropa, Amerika Utara, Asia, Afrika dan Australia, belakangan semakin mengurangi subsidi yang diberikannya kepada sektor pendidikan tinggi secara drastis, memaksa institusi penyelenggara pendidikan tinggi untuk lebih mengandalkan pendanaan sektor swasta dan berkompetisi satu sama lain untuk memperebutkan sumber-sumber pendanaan dan peserta didik .
Studi Kasus: Amerika Latin
Negara-negara Amerika latin tidaklah asing terhadap konsep ini. Upaya sistemik untuk merestrukturisasi model universitas di Amerika Latin berdasarkan model Amerika Serikat yang berlandaskan tata kelola model swasta dan orientasi for-profit dapat dilihat pada Atcon Report yang muncul pada tahun 1960an. Dokumen inilah yang kemudian dielaborasi hingga kini oleh Bank Dunia sebagai basis dalam menyusun program penyesuaian struktural . Restrukturisasi ini pada gilirannya menimbulkan penekanan terhadap faktor efisiensi dibandingkan kesetaraan dan aksesibilitas. Sebagai akibatnya peserta didik yang dalam paradigma ini berperan sebagai konsumen, harus membayar biaya yang lebih tinggi.
Studi Kasus: India

Di india, pendidikan secara paradigmatik dipandang sebagai kunci menuju pembangunan individu, komunitas dan bangsa yang holistik dan berkelanjutan . Namun demikian, data empirik menunjukkan bahwa perkembangan dan ekspansi penyelenggaraan pendidikan tinggi di India hingga kini belum mampu mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakatnya. Dari total populasi berusia 17-23 tahun, hanya sekitar 6-7% yang menjadi peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi . Berdasarkan gambaran ini, India perlu mengakselerasi penyelenggaraan pendidikan tinggi baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Akselerasi tersebut menuntut peran negara yang dominan. Dalam kondisi tersebut, aktivitas negara dalam advokasi kesejahteraan publik di India tereduksi secara konsisten sejak akhir tahun 80an akibat tekanan globalisasi dan tuntutan program penyesuaian struktural. Akibatnya dalam sektor pendidikan tinggi, persentase angka partisipasi pendidikan tinggi terhadap total populasi yang terus meningkat dari 0, 71 menuju 1, 24 pada rentang waktu antara periode pertama hingga keempat program 5 tahunan India, menurun drastis menjadi hanya 0, 53 pada periode ketujuh dan 0, 35 pada periode kedelapan .

Penetrasi kekuatan global dalam penyelengaraan pendidikan tinggi di India kian nyata ketika aliansi nasional demokrat yang memerintah India pada periode 1998 hingga 2004, menyetujui preskripsi Bank Dunia yang mengkategorikan pendidikan sebagai “non-merit goods” . Sektor pendidikan tinggi di India pun menjadi terbuka terhadap mekanisme pasar. Akibatnya bagi sektor pendidikan tinggi di India antara lain: (a) Berkurangnya pendanaan sektor negara; (b) menguatnya peran swasta; (c) meningkatnya biaya pendidikan; (d) munculnya konsep uang pangkal dan (e) institusi penyelenggara pendidikan tinggi dipaksa untuk mengupayakan pendanaan secara mandiri.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana di Indonesia?

Kontekstualisasi di Indonesia
Dalam laporannya yang berjudul Higher Education: Lessons of Experience, Bank Dunia mendefenisikan terjadinya sebuah krisis dalam pengelolaan pendidikan tinggi, terutama di negara-negara berkembang . Merespon situasi tersebut, Bank Dunia kemudian mencanangkan program reformasi pendidikan tinggi berdasarkan knowledge for development and knowledge for economics agenda . Di Indonesia, penetrasi Bank Dunia dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi mulai mengemuka bersamaan dengan pelaksanaan proyek University Research for Graduate Education (URGE) pada tahun 1994 . Salah satu implementasi dari proyek ini adalah didirikannya Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN PT). Setelah itu, dirancang beberapa proyek lanjutan yang secara umum semuanya ditujukan untuk mendukung upaya reformasi pendidikan tinggi di Indonesia, yaitu proyek Development of Undergraduate Education (DUE) pada tahun 1996 , proyek Quality of Undergraduate Education (QUE) pada tahun 1997 , hingga proyek Indonesia-Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) pada tahun disepakati pada tahun 2005 .

Untuk mengokohkan rancang bangun proyek-proyek tersebut, pemerintah Indonesia juga mengintegrasikan upaya liberalisasi pendidikan tinggi dalam struktur perundang-undangannya. Hal ini mengemuka bersamaan dengan diterbitkannya UU no 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO). Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan. Sebagai anggota WTO Indonesia harus menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya. Indonesia juga memiliki UU PMA (Penanaman Modal Asing) dan derivasinya yaitu Perpres nomer 77 tahun 2007 dan Perpres nomer 111 tahun 2007. Di dalam lampiran Perpres inilah, pada item ke-72, 73, dan 74, sektor pendidikan secara terang benderang dinyatakan sebagai bidang usaha yang dapat dimasuki investor asing dengan penyertaan modal maksimum hingga 49 persen.

Tinjauan Legal Dalam Konteks Bentuk Hukum Satuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi
Seiring menguatnya peran pasar dan sektor privat sebagai derivasi dari penetrasi Bank Dunia terhadap penyelenggaran pendidikan tinggi di Indonesia, muncul polemik di ranah hukum tentang bagaimana konstruksi legal yang ideal bagi satuan penyelenggara pendidikan tinggi yang berada dalam lingkup negara. Hal ini dimulai pada tahun 1999 saat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomer 61/1999. Dalam PP tersebut, mulai muncul embrio privatisasi pendidikan tinggi melalui konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Konsep BHMN kemudian terwujud dalam praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi pada tahun 2000 dengan berubahnya sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagai penyelenggara pendidikan tingi publik-UI, UGM, ITB dan IPB-menjadi BHMN. Dampak yang paling signifikan dari perubahan status ini adalah dipisahkannya kekayaan dan aset PTN terkait dari kekayaan negara. Hal ini jelas merepresentasikan melemahnya peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan di PTN-PTN tersebut.

Tahap selanjutnya dari proses transformasi tersebut adalah lahirnya Undang-Undang nomer 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional atau lazim disebut sisdiknas. Dalam konsiderannya, undang-undang sisdiknas secara terang benderang menyatakan perlunya pendidikan tinggi merekonstruksi diri dalam rangka menyambut tantangan global. Dampak dari berlakunya UU sisdiknas ini adalah munculnya konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena sebagaimana diamanahkan oleh pasal 53 ayat 1 UU sisdiknas, satuan penyelenggara pendidikan tinggi harus berbentuk badan hukum . Sebagai langkah untuk menjalankan amanah tersebut, pemerintah menerbitkan UU nomer 9 tahun 2009 yang mengatur bahwa seluruh satuan penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia harus berbentuk badan hukum. Meski belakangan UU BHP ini dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi, dampak yang timbul pasca pembatalan tersebut masih menyisakan perdebatan dan diskursus panjang yang belum berkesudahan hingga kini.

Mencari (Kembali) Titik Terang

Pandangan Umum

Dalam sejarahnya, satuan penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia memang memiliki relasi yang kuat dengan eksistensi negara bangsa (nation state) Indonesia, terlebih bagi yang berada dalam ruang lingkup otoritas negara-selanjutnya akan disebut dengan satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik. Sistem yang demikian dinilai tidak efisien dalam memajukan mutu pendidikan tinggi. Lebih dari itu, ketergantungan birokrasi terhadap negara-sebagai aktor dalam trilogi negara, pasar dan masyarakat sipil-telah membuat pendidikan tinggi terutama pendidikan tinggi publik tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam merespon dinamika eksternal atau mendapatkan dukungan yang sesuai. Dalam konteks sosiologis, hal ini mengakibatkan para pelaku pendidikan tinggi tidak memiliki sense of belonging kepada masyarakat karena strukturnya yang birokratis. Pandangan-pandangan ini yang pada akhirnya membuat Bank Dunia mulai mulai mengarahkan reformasi pendidikan tinggi di Indonesia pada konstruksi otonomis. Bank Dunia menilai bahwa sebagai akibat dari tidak adanya otonomi dan rasa kepemilikian terhadap masyarakat, institusi pendidikan tinggi kekurangan akuntabilitas dan tanggung jawab kepada masyarakat. Hal tersebut berdampak pada pada kualitas, efisiensi, dan relevansi pendidikan tinggi secara umum di Indonesia. Buruknya kualitas dari pendidikan tinggi dapat dilihat dari rendahnya kualifikasi dari para pengajar, infrastruktur yang buruk dan terbatasnya literatur di perpustakaan juga rendahnya efisiensi.

Dalam Konteks Satuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Publik
Merujuk pada situasi tersebut, upaya untuk mencari solusi melawan liberalisasi pendidikan tinggi-sebagaimana direpresentasikan oleh kehadiran Bank Dunia-harus diawali dengan mendamaikan tegangan antara peran negara dan otonomi bagi satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik. Menghadapi zaman baru serta perbedaan kapasitas antar satuan penyelenggara, otonomisasi adalah sebuah keniscayaan. Namun demikian, pemerintah harus memiliki political will yang kuat untuk menempatkan jaminan negara terhadap eksistensi satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik dan otonomi bagi mereka untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber dayanya-termasuk melalui kerjasama dengan sektor privat-dalam sebuah tatanan yang integral dan komplemen alih-alih beroposisi satu sama lain. Peran negara harus diperkuat dalam relasi mutualisme dengan keberadaan sektor privat. Selain itu harus ada upaya serius untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam kinerja satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik, tentunya dengan tetap berlandaskan pada asas keadilan.

Salah satu upaya untuk memperkuat peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah dengan meninjau kembali keberadaan UU nomer 7 tahun 1994 dan perpres nomer 77 dan 111 tahun 2007-sebagai derivasi dari UU PMA-dan upaya untuk meliberalkan pendidikan yang terkandung di dalamnya melalui upaya judicial review. Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945-sebagai sumber hukum yang lebih tinggi secara hirarkis dibandingkan dengan UU DAN perpres-pasal 33, bidang-bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Di era ekonomi pengetahuan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pendidikan tinggi harus dipandang sebagai instrumen strategis dalam pembangunan yang berkorelasi dengan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Artinya, negara harus berperan aktif menjamin aksesibilitas pendidikan tinggi. Meski begitu, peran sektor privat tidak dapat ditolak begitu saja, dan sebaliknya harus diakomodir untuk memperkuat peran negara. Sebagai model untuk kebijakan ini dapat dirujuk model penyelenggaraan pendidikan tinggi publik di Jerman dan Australia , di mana kerjasama antara institusi penyelenggara pendidikan tinggi negeri dengan sektor privat secara otonom demikian diberdayakan namun di sisi lain, negara hadir memberikan jaminan penuh terhadap pendanaan yang mereka butuhkan.

Selanjutnya sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi publik yang diselenggarakan oleh negara, struktur penyelenggaraannya harus menerapkan konsep Good Corporate Governance (GCG). Sebagaimana telah dipaparkan, kehadiran negara kerap diasosiasikan dengan struktur yang serba birokratis, paradigma yang feodal dan konvensional serta etos kerja yang buruk. Inilah rasionalisasi menguatnya sektor privat sebagai oposan terhadap buruknya kinerja negara dalam penyelenggaraan kebijakan publik-termasuk dalam sektor pendidikan tinggi. Konsep GCG menjadi kunci untuk mereformasi situasi ini dan mewujudkan tata kelola penyelenggaraan pendidikan tingi yang unggul. Menurut Sunarto , GCG terdiri dari konfigurasi 3 unsur yaitu keterbukaan, integritas dan akuntabilitas. Sebagai implementasinya, satuan penyelenggara pendidikan tinggi publik harus sensitif dan terbuka terhadap perubahan yang dapat memacu kinerjanya menjadi lebih baik dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban publik yang baik, transparan dan terpercaya.

Melalui sinergisasi peran negara-pasar di tataran makro-seperti melalui rekonstruksi hukum-dan penerapan konsep GCG di tataran mikro akan tercapai kemajuan pendidikan tinggi publik berlandaskan otonomi yang tidak melupakan keberpihakan terhadap mereka yang tidak berpunya. Hal ini bukan berarti kemudian seluruh rakyat Indonesia harus berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri, karena setiap individu tentu memiliki kapasitas, kompetensi dan preferensi yang berbeda-beda. Yang harus diwujudkan serta dipegang teguh sebagai landasan paradigmatik adalah mengenyam pendidikan tinggi merupakan hak seluruh warga negara Indonesia. Ketika seseorang memiliki preferensi untuk mengenyam bentuk pendidikan tertentu yang diselengarakan oleh negara dan yang bersangkutan telah memiliki kapasitas dan kompetensi yang diperlukan, negara harus menjamin aksesibilitas baginya. Jika tidak, mari bubarkan saja Indonesia, karena ia telah berkhianat pada tujuan keberadaannya!

Epilog: Pendidikan Berbasis Kesadaran Menuju Eskalasi Sosial yang Mensejahterakan
Meminjam konsep pendidikan berbasiskan kesadaran (conscientizacao) milik Paulo Freire, pendidikan harus dipandang alat untuk membebaskan kaum tertindas dari ketertindasannya melalui hadirnya kesadaran kritis. Anies Baswedan dalam sebuah seminar memperkuat hal tersebut dengan mengatakan bahwa pendidikan harus dipandang sebagai instrumen rekayasa struktural yang mampu membebaskan seseorang dari belenggu kemiskinan dan ketertinggalan. Pada akhirnya, solusi apapun yang hendak kita bangun harus berujung pada upaya sistematis untuk menyadarkan masyarakat akan urgensi pendidikan. Inilah senjata paling ampuh untuk melawan liberalisasi yang berujung pada upaya pemiskinan, kesadaran kritis.

Masyarakat hingga tingkatannya yang paling bawah harus dicerahkan untuk tidak senantiasa menggantungkan diri pada BLT, subsidi atau jenis bantuan filantropis sejenis melainkan melalui pendidikan, meningkatkan martabat hidupnya. Masyarakat yang tersadarkan inilah yang akan menjadi lokomotif eskalasi sosial menuju bangsa yang lebih sejahtera.

"All who have meditated on the art of governing mankind have been convinced that the fate of empires depends on the education of youth." (Aristoteles)





Daftar Pustaka

•Freire, Paulo. 1993. Pedagogy of the Opressed. New York: Continuum
•Implementation Completion Report (CPL-37540; SCL-3574A; SCPD-375A; SCPD-3754S) on a Loan in The Amount of US$ 58.9 Million to the Republic of Indonesia for a University Research for Graduate Education Project
•Implementation Completion Report on Loan For A Higher Education Support Project: Development of Undergraduate Education, June 27, 2003,
•Mankiew, Gregory.2002. Macroeconomics. New York: Mcgraw-Hill
•Nizam, “Indonesia: The Need for Higher Education Reform.” In Higher Education in South-East Asia. (Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education, 2006). p 35-68.
•Project Appraisal Document on Proposed Loan For A Managing Higher Education For Relevance And Efficiency Project
•Sunarto. Corporate Governance dan Kinerja Ekonomi, Fokus Ekonomi, Vol. 2 tahun 2003, Hlm. 240-257
•Suranjan, Das. 2007. The Higher Education in India and The Challenge of Globalisation, Social Scientist, Vol. 35 No. 3, Hlm. 47-67
•Susan L. Robertson. 2009. Market Multilateralism, the world bank Group and the Asymmetries of Globalising Higher Education: Toward a Critical Political Economy Analysis, New York: Routledge, Hlm. 2
•Teguh Yudo Wicaksono dan Deni Friawan, “Recent Developments of Higher Education in Indonesia: Issues and Challenges”, EABER Woking Paper Series: Paper no. 45, Paper Prepared for Discussion at the DPU/EABER Conference on Financing Higher Education and Economic Development in Asia (Bangkok: EABER, 2007)
•The Lesson from Experience. 1994. World Bank, page 4
•Torres, Carlos A.; Schugurensky, Daniel. 2002. The Political Economy of Higher Education in The Era of Neoliberal Globalization, Higher Education, Vol. 43 No. 4, Hlm. 429-455
•World Bank, Report No. PIC4883 : Indonesia-Quality of Undergraduate Education (QUE)

May 13, 2011

Risalah Sang Cupu

Terimakasih pada sambungan internet, dari sudut Fakultas Teknik, berkawan dengan nyamuk, gelap dan sunyi, gw bisa mengikuti apa yang terjadi di beberapa sudut bumi yang lain. Pertama, malam apresiasi mahasiswa berprestasi Universitas Indonesia, kedua Kick Andy show. Semuanya menghadirkan inspirasi yang terang benderang.

Mungkin anda akan berkata bahwa mahasiswa berprestasi tidak lebih dari orang pragmatis yang mencari aktualisasi melalui setumpuk sertifikat, dan malam apresiasi bagi mereka adalah puncak sakramen kebodohan dari para pemujanya. Gw bilang ga! gw kenal dengan salah seorang finalis yang datang dari keluarga yang kurang beruntung dan bertahan hidup dengan beasiswa, upah mengajar dan hadiah kemenangannya di berbagai kompetisi. Orang ini pejuang bung! bukan orang bodoh-pragmatis, dia mengikuti ajang pemilihan mapres untuk membanggakan keluarganya dan membantu mereka. Ada lagi yang aktif di bebagai kegiatan sosial, yang ini konon menyumbangkan hadiahnya di tingkat fakultas untuk salah seorang warga masyarakat yang sedang sakit di tempatnya membangun gerakan basis. Sudah? belum, ada lagi yang begitu kaffah beribadah dalam islam. Loh? apa luar biasanya? persekongkolan zaman hingga rekayasa diskursus media membuat menjadi orang islam yang kaffah akan lebih banyak mendatangkan kerugian hari ini, tapi orang yang satu ini teguh mempertahankan kekaffahannya. Bukan-bukan, gw bukan mau bilang ini kemenangan dakwah, biarkan orang lain yang lebih layak berbicara perihal yang itu. Gw hanya ingin mengungkapkan bahwa orang ini sukses memberikan teladan tentang karakter. Ia buktikan bulat-bulat bahwa menjadi manusia berkarakter samasekali tidak old school, itu masih dan akan terus bermakna.

Tentang kick andy show, gw rasa tidak perlu diceritakan dengan terlampau detil di sini. Bagi anda yang memiliki pesawat televisi, tentu mengerti apa yang begitu menginspirasi dari Kick Andy Show tanggal 13 Mei 2011. Orang-orang biasa, tanpa status pejabat publik atau tokoh bangsa, tanpa gemerlap kamera dan riuh tepuk tangan, orang-orang yang mungkin saja pernah kita temui di metro mini atau toko kelontong dekat rumah ini dengan caranya masing-masing memperjuangkan perubahan dan menyalakan harapan bagi bagitu banyak orang yang ditindas oleh-sekali lagi-persekongkolan zaman.

Nah, merujuk pada judul postingan ini, malam ini, ketika membandingkan diri gw dengan mereka, tersedia begitu banyak alasan bagus bagi gw untuk merasa cupu. Culun punya! Tapi tidak untuk berhenti. Karena gw sadar betul, jarak antara gw, lw dan siapapun anda kaum cupu sedunia yang membaca postingan ini dengan mereka ada pada sejauh apa kita melangkah untuk apa yang kita yakini. Ada pada sejauh apa kita bertahan dalam lara dan derita untuk memperjuangkan impian-impian kita. Jelas pada akhirnya tidak semua orang bisa menjadi mahasiswa berprestasi tingkat UI atau tokoh muda inspiratif pendiri gerakan masyarakat sipil terkemuka yang sukses mempengaruhi hidup 32 ribu orang, tapi jika kita berhenti karena itu, maka sudah cupu, kita akan jadi manusia yang nirguna. Jika memang harus jadi orang cupu, jadilah sebaik-baiknya orang cupu. Jika dalam panggung dunia ini, kita hanya tengah menjadi seorang penata panggung alih-alih aktor utama, jadilah penata panggung yang sangat unggul dan profesional. Begitulah, maka kita akan menjadi orang cupu yang membanggakan!orang cupu yang demikian akan bersinar pada waktunya nanti dan dengan ridha-Nya, tidak jadi cupu lagi. Kaum cupu sedunia, bersatulah dan berjuanglah!

May 04, 2011

Satu Siang Bersama Profesor Darmaningtyas

“Just living is not enough, someone must have sunshine, freedom and a little flower” (Hans Christian Andersen)

Siang itu sangat panas, bahkan pendingin udara di bis kuning tidak mampu meredakannya. Sesampainya di halte Fakultas Kesehatan Masyarakat, penulis turun. Setelah berucap “terimakasih pak”, penulis segera melaju ke Balai Sidang BNI. Siang ini, Profesor Darmaningtyas, kebetulan berada di kampus-yang katanya kampus-rakyat kita ini untuk menghadiri pengukuhan koleganya menjadi guru besar. Sebuah kesempatan untuk kembali memperdalam pemahaman tentang Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Tulisan ini merupakan gagasan-gagasan Profesor Darmaningtyas yang berkembang sepanjang diskusi tersebut. Penulis mencoba menyajikan saripatinya dalam sebagai renungan dan semoga saja, inspirasi untuk kita semua.

RUU PT: Kanibalisasi BHP

Masih terekam jelas dalam benak penulis hari-hari itu, ketika gerakan perlawanan terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) menggema di mana-mana, disuarakan oleh aktivis mahasiswa hingga doktor dan guru besar. Kini, setelah polemik panjang yang melahirkan berbagai gagasan tentang bentuk ideal satuan penyelenggara pendidikan tinggi, DPR RI mengajukan RUU PT sebagai UU inisiatif DPR. Di tengah ketidakpastian yang membayangi struktur penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia pasca dibatalkannya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi, RUU PT diharapkan mampu menjadi terobosan berharga sekaligus langkah yang solutif.

Sayangnya menurut Profesor Darmaningtyas,meskipun berbeda dalam tata letak dan struktur, RUU PT sesungguhnya membawa roh UU BHP. Corak privatisasi dan pelemahan tanggung jawab negara mengemuka melalui integrasi konsep badan hukum dalam tata kelola penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kendati dapat menjawab ketidakpastian yang berkembang, masih tersisa tanya tentang aksesibilitas.

Jebakan Otonomi: Sebuah Utopia!
Peranan negara senantiasa diasosiasikan dengan tata kelola yang inefisien dan serba birokratis. Merespon hal ini, pemberian otonomi dipandang sebagai jalan keluar. Pemberian otonomi, dalam konteks pendidikan tinggi, berimplikasi pada bentuk hukum satuan penyelenggaranya. Hal ini, menurut Profesor Darmaningtyas terjadi karena rancang bangun UU keuangan negara yang tidak fleksibel. Menurut beliau untuk memperkuat pelayanan publik yang diberikan oleh negara, seharusnya ada perlakuan khusus untuk ranah yang bersangkut paut secara erat dengan pemenuhan hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Inilah pangkal terciptanya utopia. Seolah, otonomisasi harus senantiasa integral dengan perubahan bentuk hukum.

Solusinya menurut beliau adalah menolak dengan tegas RUU PT dan menetapkan Perguruan Tinggi Negeri sebagai bentuk dasar bagi seluruh satuan penyelenggara pendidikan tinggi milik negara. Keragaman sosiologis dalam misalnya kepemilikan sumber daya, kapasitas penelitian serta potensi untuk menerima hibah dan mengembangkan ventura direspon dengan merancang UU keuangan negara yang lebih fleksibel serta penyederhanaan struktur birokrasi. Semuanya mungkin jika ada political will. Jaminan pendanaan oleh negara bukanlah oposisi biner dari otonomi pengelolaan, itu sesungguhnya adalah kewajiban negara!

Untuk memperkuat argumennya Profesor Darmaningtyas memberikan beberapa tinjauan komparatif. Di Australia dan Jerman, satuan penyelenggara pendidikan tinggi milik negara dijamin eksistensinya dan ditopang oleh pendanaan yang kuat oleh negara. Meski demikian, mereka tetap memiliki otonomi untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya yang dimilikinya tanpa adanya etatisme negara.

Penutup
Demikianlah apa yang terelaborasi dalam diskusi tersebut. Masih banyak ruang dalam diskursus tentang RUU PT ini. Sudut pandang yang berbeda tentu akan melahirkan pula argumen yang berbeda. Namun demikian, penting untuk senantiasa mengingat bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan bernegara Indonesia, dulu. Mari berjuang agar tetap begitu!

March 09, 2011

Kembali

Setelah nyaris setengah tahun, tergurat lagi tulisan di sini. Sebenarnya banyak pergumulan, pertemuan, dialektika dan inspirasi yang beredar dan pantas untuk ditulis dan ditorehkan dalam blog ini. Padamnya hasrat hati untuk menulis karya populer (atau dengan kata lain, yang ditulis tanpa kejaran berbagai rupa deadline)menjadi pangkal dari kemarau panjang di blog ini.

Sampai detik ini, ketika akhirnya, hasrat itu kembali. Panjang untuk menceritakan bagaimana tiba-tiba keinginan untuk menulis itu tumbuh lagi, mungkin akan ada postingan lain tentangnya. Sekarang gw ingin menceritakan tentang apa dan di mana sang pencari bintang ini memulai pencariannya di tahun 2011.

Setelah setahun mendalami bidang pendidikan dan kebijakan kampus, PUSGERAK (pusat kajian dan studi gerakan) BEM UI 2011 menantang gw untuk kembali berkontribusi, melanjutkan kisah yang telah gw mulai di BEM UI 2010. Selain itu, Andreas Senjaya, Majelis Wali Amanat UI Unsur Mahasiswa memberikan kepercayaan bagi gw untuk menjadi kepala divisi kajian kebijakan publik universitas di badan kelengkapannya (ingin tau tentang kami? mwaui-um.org dan nantikan postingan-postingan lain blog ini tentunya)

Menggambarkan badan kelengkapan MWA, gw akan menggunakan analogi sebuah selimut tua. Nyaman, menghangatkan dan selalu menebarkan kerinduan. Sedangkan PUSGERAK, setelah revolusi yang demikian akseleratif menjadi sebuah organ think tank yang kaya akan diskursus, dalam berbagai warna dan bentuknya. Berdialektika bersama PUSGERAK seperti berada di balik kendali pesawat tempur siluman. Menegangkan, menggairahkan dan menekan nalar. Menyenangkan, namun dalam konteks, dimensi dan konstruksi yang berbeda dengan badan kelengkapan MWA.

Selebihnya? masih sama, buku-buku, kegelapan, bintang dan pagi masih setia menemani. Sampai jumpa lagi, segera.