May 04, 2011

Satu Siang Bersama Profesor Darmaningtyas

“Just living is not enough, someone must have sunshine, freedom and a little flower” (Hans Christian Andersen)

Siang itu sangat panas, bahkan pendingin udara di bis kuning tidak mampu meredakannya. Sesampainya di halte Fakultas Kesehatan Masyarakat, penulis turun. Setelah berucap “terimakasih pak”, penulis segera melaju ke Balai Sidang BNI. Siang ini, Profesor Darmaningtyas, kebetulan berada di kampus-yang katanya kampus-rakyat kita ini untuk menghadiri pengukuhan koleganya menjadi guru besar. Sebuah kesempatan untuk kembali memperdalam pemahaman tentang Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Tulisan ini merupakan gagasan-gagasan Profesor Darmaningtyas yang berkembang sepanjang diskusi tersebut. Penulis mencoba menyajikan saripatinya dalam sebagai renungan dan semoga saja, inspirasi untuk kita semua.

RUU PT: Kanibalisasi BHP

Masih terekam jelas dalam benak penulis hari-hari itu, ketika gerakan perlawanan terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) menggema di mana-mana, disuarakan oleh aktivis mahasiswa hingga doktor dan guru besar. Kini, setelah polemik panjang yang melahirkan berbagai gagasan tentang bentuk ideal satuan penyelenggara pendidikan tinggi, DPR RI mengajukan RUU PT sebagai UU inisiatif DPR. Di tengah ketidakpastian yang membayangi struktur penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia pasca dibatalkannya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi, RUU PT diharapkan mampu menjadi terobosan berharga sekaligus langkah yang solutif.

Sayangnya menurut Profesor Darmaningtyas,meskipun berbeda dalam tata letak dan struktur, RUU PT sesungguhnya membawa roh UU BHP. Corak privatisasi dan pelemahan tanggung jawab negara mengemuka melalui integrasi konsep badan hukum dalam tata kelola penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kendati dapat menjawab ketidakpastian yang berkembang, masih tersisa tanya tentang aksesibilitas.

Jebakan Otonomi: Sebuah Utopia!
Peranan negara senantiasa diasosiasikan dengan tata kelola yang inefisien dan serba birokratis. Merespon hal ini, pemberian otonomi dipandang sebagai jalan keluar. Pemberian otonomi, dalam konteks pendidikan tinggi, berimplikasi pada bentuk hukum satuan penyelenggaranya. Hal ini, menurut Profesor Darmaningtyas terjadi karena rancang bangun UU keuangan negara yang tidak fleksibel. Menurut beliau untuk memperkuat pelayanan publik yang diberikan oleh negara, seharusnya ada perlakuan khusus untuk ranah yang bersangkut paut secara erat dengan pemenuhan hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Inilah pangkal terciptanya utopia. Seolah, otonomisasi harus senantiasa integral dengan perubahan bentuk hukum.

Solusinya menurut beliau adalah menolak dengan tegas RUU PT dan menetapkan Perguruan Tinggi Negeri sebagai bentuk dasar bagi seluruh satuan penyelenggara pendidikan tinggi milik negara. Keragaman sosiologis dalam misalnya kepemilikan sumber daya, kapasitas penelitian serta potensi untuk menerima hibah dan mengembangkan ventura direspon dengan merancang UU keuangan negara yang lebih fleksibel serta penyederhanaan struktur birokrasi. Semuanya mungkin jika ada political will. Jaminan pendanaan oleh negara bukanlah oposisi biner dari otonomi pengelolaan, itu sesungguhnya adalah kewajiban negara!

Untuk memperkuat argumennya Profesor Darmaningtyas memberikan beberapa tinjauan komparatif. Di Australia dan Jerman, satuan penyelenggara pendidikan tinggi milik negara dijamin eksistensinya dan ditopang oleh pendanaan yang kuat oleh negara. Meski demikian, mereka tetap memiliki otonomi untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya yang dimilikinya tanpa adanya etatisme negara.

Penutup
Demikianlah apa yang terelaborasi dalam diskusi tersebut. Masih banyak ruang dalam diskursus tentang RUU PT ini. Sudut pandang yang berbeda tentu akan melahirkan pula argumen yang berbeda. Namun demikian, penting untuk senantiasa mengingat bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan bernegara Indonesia, dulu. Mari berjuang agar tetap begitu!

0 comments:

Post a Comment