January 31, 2010

Elegi, Elegi: Sekali(LAGI) Bergerak


Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal materi dan ide. Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji revolusioner. Bimbingkanlah tangan si pembanting tulang dan budak belian itu hari ini dan besok; bawalah mereka menerjang benteng musuh yang rapi itu! Di sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner! Di muka barisan laskar itulah tempatmu berdiri dan kerahkanlah teman sejawatmu menerjang musuh; inilah kewajiban seorang yang berhati singa! Dirikanlah di tengah-tengah laskarmu itu satu pusat pimpinan, tempat menjatuhkan suatu perintah kepada mereka semua yang haus serta lapar itu, dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut mereka dengan bersungguh hati

Kalimat di atas diguratkan oleh Tan Malaka pada bab 12 buku aksi massa tulisannya, yang berjudul "khayalan seorang revolusioner",sebuah judul yang bagi penulis cukup melukiskan isi dari bab tersebut. Tan Malaka yang resah serta galau terhadap konstruksi kultural yang ditandai dengan hegemoni kejawaan, serta dialektika komunal antara kiri, kanan dan tengah yang terjadi, kemudian memaparkan sebuah "khayalan" sebagai antitesisnya, inilah akhirnya satu-satumya yang bisa dilakukan oleh oleh orang yang menyebut Budi Oetomo sebagai "binatang pemalas" lalu menahbiskan National Indische Party sebagai organisasi yang pincang dan penuh keragu-raguan.

Penulis tidak akan berbicara mengenai ideologi, ataupun latar belakang sejarah yang mungkin berkorelasi dengan tulisan ini.Secara sederhana tulisan ini hanya ingin mencoba menghadirkan sebuah refleksi bagi kita para insan yang kaya akan salah dan lupa. Bahwasanya dasar dari sebuah gerakan terinspirasi oleh kutipan diatas adalah adanya kesadaran akan nilai kemerdekaaan yang terenggut. Ini adalah sebuah pengertian yang universal, lintas zaman dan golongan, karena gerakan ikhwanul muslimin yang dibangun oleh Al-Imam Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghrib yang lahir pada bulan Maret 1928 pun, sedikit banyak hadir dengan berlandaskan rasa terjajah, terjajah oleh sistem, lingkungan dan pola hidup kebangsaan yang tidak islami. Pula hegel, karena rasa terjajahnya oleh kerangka berpikir kaum rasionalis (Locke cs.) yang tidak mamberi ruang pada metafisika akhirnya kemudian menciptakan peta pemikiran yang samasekali baru.

Bila kita kaitkan dengan kondisi bangsa ini, yang di atas tanahnya tongkat dan batu pun akan menjadi tanaman, maka bangsa inipun sejatinya masih terjajah, terjajah oleh apa? kooptasi kepentingan asing, kemiskinan, kebodohan ataupun amoralitas bangsa hanyalah serangkaian produk dari sebuah msalah yang lebih makro,dari sebuah "Rangkaian keputusan sepihak", dengan analoginya adalah seseorang yang membeli mobil untuk kepentingan keluarganya, maka ketika komunitas orang-orang ini berkumpul di jalan raya, elaborasi dari keputusan-keputusan sepihak untuk membeli mobil tadi,akan berujung pada masalah bersama yakni kemacetan.

Contoh aktual, pada bidang ekonomi, keputusan-keputusan sepihaklah yang mengakibatkan pembangunan ekonomi kita mandul, hanya semata, meminjam istilah Prof Sri Edi Swasono, berorientasi pada social wellfare bukan societal wellfare. Ketika pasar dalam negeri dibuka lebar bagi produk asing, dan sebagian pihak memutuskan untuk berlomba-lomba mengeruk keuntungan, rangkaian keputusan yang dibangun secara parsial tersebut akan berimplikasi pada tidak adanya cukup sumber daya bagi mereka yang tidak memiliki modal, di mana akhirnya kaum yang termarjinalkan ini akan mambebani keseluruhan sistem, untuk kemudian menjadi masalah bersama. Demikian pula dengan birokrat yang memutuskan untuk korupsi atau menerima suap, guru yang mencari bocoran, lelaki yang menangis karena patah hati dan mahasiswa yang menjual idealismenya, semua ini akan terekstrapolasi dalam sebuah kurva kehidupan.

Maka jelas,ada sebuah gerakan yang harus dibangun oleh generasi revolusioner hari ini sebagai respon atas keterjajahan. Gerakan yang militan, holistik, intelek dan inklusif ke arah perbaikan yang sistemik dan mengakar,tidak sekedar hit and run.

Lalu, masihkah kita?saya jawab: masih! Karena bila berpulang pada falsafah gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai, yang berbasiskan ideologi serta nilai-nilai moral, gerakan mahasiswa sudah seyogyanya menjadi inisiator gerakan perbaikan ini. Berbekal kemurniannya,dengan cakrawala keilmuan dan idealismenya,inilah saatnya mahasiswa bangkit, dengan sumbangsih konkret, menyadarkan yang belum mengerti akan arti kemerdekaan. Meminjam slogan pemira lalu: kalau bukan kita,siapa lagi???

SEMOGA CUKUP MENGINSPIRASI BAGI MEREKA YANG KECEWA DAN SEDANG BERHENTI. HIDUP RAKYAT INDONESIA!!!

_untuknya_

0 comments:

Post a Comment