December 30, 2009

Elegi Kampus Kuning bagian 1: BOPB sang Pemimpi


sambut hari baru di depanmu
sang pemimpi siap untuk melangkah
beri tanganku jika kau ragu
bila terjatuh ku kan menjaga
kita telah berjanji bersama
taklukkan dunia ini..


Nukilan kata-kata di atas mungkin cukup akrab di telinga kita tempo-tempo belakangan ini. Masih bersama-meminjam istilah andrea hirata-duo kribo, riri reza dan mira lesmana, film kedua yang diangkat dari tetralogi laskar pelangi karya andrea hirata, menyeruak di tengah jagat hiburan tanah air, “Sang Pemimpi” muncul di tengah-tengah kita diiringi alunan harmoni lagu karya GIGI yang berjudul sama. Kata-kata di atas adalah sebagian dari lirik lagu tersebut.

Sudah menontonnya? Tulisan ini bukan meresensi film “Sang Pemimpi”, jadi teruslah membaca kalaupun jawabannya adalah tidak, walaupun kalau memang ada rejeki lebih, saya sangat merekomendasikan bagi anda untuk menontonnya, Insyaallah sangat apik dan inspiratif.

Dalam film tersebut, dikisahkan tentang Ikal dan Arai, 2 anak muda melayu yang tertatih menjalani hidup mereka di tengah dera cobaan, mulai dari himpitan ekonomi, hingga harus ditinggal pergi oleh yang dicinta. Mereka diperas lalu dihempas laksana butir timah yang memenuhi Belitong, kampung halaman mereka. Meski begitu, dengan modal impian, ya hanya impian, mereka sukses melakukan lompatan luar biasa ke Paris, berkuliah di Sorbonne, sebagai mahasiswa program pasca sarjana, belajar di bilik-bilik kelas yang dulu kala menjadi tempat eksperimennya marie curie serta berdiskusinya montesqieu. Lepas dari adanya dramatisasi dalam film atau bahkan novelnya, kisah ini diangkat dari kisah nyata. Konklusinya, di luar sana ada 2 orang yang sukses membuktikan secara telak, keburukan dari menyerah.
Andai sudah menyerah, mereka tidak akan bisa meraih impiannya, berkuliah di UI, lalu sorbonne, menjadi insan yang besar, prestasi, juga jiwanya.

UI? ya, yang saya maksud sebagai kampus kuning adalah UI kampus saya, ikal dan arai (paling tidak berdasarkan filmya, ada sedikit perbedaan dari versi novelnya), sempat menghabiskan beberapa tahun hidup mereka di UI, sebelum terbang ke eropa hingga keduanya ditahbiskan sebagai sarjana ekonomi (ikal) dan biologi (arai). Dengan impian, mereka membayar-meminjam istilah kontemporer kampus saya ini-BOP (Biaya Operasional Pendidikan)nya. Impian membuat mereka terjaga dari mimpi buruk kala tiada serupiahpun (atau dalam mata uang lainnya), kiriman dari orang tua yang menyambangi mereka, hingga mereka bekerja apa saja yang halal secara serabutan untuk bertahan di UI.

Pertanyaanya sederhana, hari ini, berapa banyak orang yang memiliki keberanian setara mereka untuk memperjuangkan impian layaknya mereka. Jika jumlahnya banyak, maka asumsi saya, harusnya sudah ada puluhan bahkan ratusan novel, lagu, atau film layaknya tetralogi laskar pelangi yang berangkat dari kisah nyata. Sangat tidak empiris memang data di atas, namun tetap saya yakin bahwa hari ini, di atas tanah air ini, orang-orang yang telah menyerahkan kemurnian falsafah pendidikan kita pada kapitalisme global yang tidak manusiawi, berbasis informasi yang asimetris dan idealisasi buta pada kondisi pasar, telah menggerus keberanian kita untuk bermimpi bersekolah tingi, bahkan kemudian membuat banyak orang terbunuh oleh impiannya itu (pernah dengar, ada anak yang gantung diri karena malu tiada sanggup membaya SPP).

Tak perlulah tulisan ini membumbung terlampau jauh, contoh konkrit telah terjadi di kampus yang dengan gagah menyandang nama Indonesia, UI.

UI dan Elegi

Hari ini, ketika tulisan ini dibuat, pihak direktur kemahasiswaan UI tengah mengajukan laporan hasil pelaksanaan sistem Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOPB), beserta evaluasi serta rekomendasi kebijakan pelaksanaan sistem BOPB nantinya untuk 2010. Sistem ini, saya jelaskan sedikit, pada intinya secara filosofis, ingin membuat semua orang membayar sesuai kemampuannya, berbagai data diolah serta divaluasi untuk kemudian menghasilkan besaran uang tertentu dalam sebuah kisaran.

Sayang, pada faktanya, sistem yang lahir pada tahun 2008 ini, telah bermasalah selama 2 tahun pelaksanaannya, bukan saja akibat kesalahan sistem yang berdampak teknis, namun juga akibat sekelompok oligarkis yang telah nyata berkhianat pada cita-cita preambule UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sarana pencerdasan kehidupan bangsa dijadikan lahan untuk mereguk untung. Saat itu, mahasiswalah yang melalui kesma lembaga eksekutif kemahasiswaan menjadi ksatria-ksatria gagah berani,berjibaku dengan peluh dan air matanya guna mengawal pelaksanaan sistem BOPB ini. Secara nyata, keterlibatan mahasiswa dalam sistem BOPB telah mengkonstruksi sebuah mekanisme kontrol, yang kendatipun tentu masih belum sempurna, berhasil mereduksi efek negatif dari BOPB.

Maka tahukah anda isi rekomendasi direktur kemahasiswaan UI, atas nama mahalum se-UI pada rektor yang saat ini suratnya telah diterima oleh rektor? Kemahasiswaan UI bersepakat akan menyerahkan pelaksanaan BOPB 2010 (apapun nanti namanya), termasuk pula pembangunan sistemnya, pada bagian keuangan, dengan tidak lagi melibatkan mahasiswa, kecuali sebagai surveyor bagi mahasiswa baru yang ingin melakukan banding.Tanpa persentuhan langsung dengan mahasiswa baru yang merupakan subjek dari BOPB, maka upaya advokasi dari lembaga eksekutif mahasiswa via kesma akan kehilangan daya jelajahnya, karena tidak bisa mengawal proses dari awal dan baru terlibat saat ada banding.

Sangat perlu dipertanyakan kemudian, apakah Rektorat melalui komponen yang dimilikinya cukup kompeten untuk menjamin adanya distribusi informasi yang cergas bagi para calon pahlawan muda UI 2010, agar mereka memahami keseluruhan sistem pembayaran yang mereka hadapi dengan tepat, termasuk memahami bahwa besaran yang diterima tidak bersifat final, dan masih ada banding, temasuk memahami bahwa tidak akan ada anak UI yang harus berhenti bermimpi lantaran alasan keuangan. Lalu kemudian setelah itu, pihak rektorat harus pula untuk membangun motivasi para calon peserta didik, untuk terus bermimpi dengan memberikan wawasan tentang variabel-variabel yang dapat lebih memperingan lagi beban mereka, seperti aneka beasiswa atau kebijakan pinjaman lunak bagi mahasiswa. Mampukah?atau saya pertajam, maukah rektorat? harap diingat, ini akan mereka lakukan tanpa dikawal oleh mahasiswa.

Pula ketika sistem ini dilimpahkan pada bagian keuangan, maka tidak bisa disangkal, potensi konflik kepentingan akan merebak dan bisa berujung pada penyalahgunaan kuasa, hal ini mengingat posisi bagian keuangan sebagai garda terdepan pemenuhan RKAT setempat fakultas. Tentu ini bukan generalisasi, ada memang mereka yang masih putih hatinya, namun apakah tanpa, lagi-lagi terlibatnya mahasiswa sebagai mitra kritis, dapatkah dijamin bahwa tidak akan ada yang hitam di sana.

Penghujung

Akhirnya, untuk rekan-rekan UI maupun bukan, jangan hanya diam!, saatnya kembali mengkritisi isu pendidikan dan mengawalnya sebagai isu sentral bangsa, jadikan kejadian di UI ini sebagai refleksi untuk mengkaji persoalan secara makro.Dan teruntuk rekan-rekan seperjuanganku secara khusus, mari kembali bergerak dengan elegan dan militan, agar bila hari ini, di sudut dunia ini, ada sang pemimpi yang berhasrat untuk bergabung dengan kita di sini, ia tak harus menyerah untuk bermimpi, karena Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan yang tidak adil. HIDUP PENDIDIKAN INDONESIA!!!

Maka sang pemimpi, ayo bernyanyi lagi..
sambut hari baru di depanmu
sang pemimpi siap untuk melangkah
beri tanganku jika kau ragu
bila terjatuh ku kan menjaga
kita telah berjanji bersama
taklukkan dunia ini..

_untuk hujan, engkaulah satu-satunya_

0 comments:

Post a Comment