December 24, 2009

Coffe (susu) theory


Di Indonesia, hanya ada 2 pilihan: menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya -Soe Hok Gie.


Tidak realistis?impian kosong? atau bisa jadi sebagian dari kita, bahkan tidak mengerti apa itu idealis dan apa itu apatis.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata sifat idealis diidentikkan dengan orang yang memiliki cita-cita tinggi, kemudian idealisme sendiri masih menurut KBBI berarti:
1 aliran ilmu filsafat yg menganggap pikiran atau cita-cita sbg satu-satunya hal yg benar yg dapat dicamkan dan dipahami; 2 hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yg dianggap sempurna; 3 Sas aliran yg mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dng kenyataan.

Entah disadari atau tidak, melalui proses yang dinamis dan simultan serta bersifat kultural, bagi bangsa ini, benda bernama idealisme kemudian erat dikaitkan dengan mereka yang secara sadar memiliki keberanian untuk bersikap moderat atau bahkan ekstrem terhadap sistem. Tentu tidak asing bagi kita seseorang atau bahkan sebuah lembaga disebut "terlalu idealis" lantaran laku dan bijaknya tak sejalan dengan kebenaran yang berlaku sistemik. Hingga di ujung kisah, orang-orang yang hidup dengan idealismenya pun pada akhirnya menjadi termarjinalkan dalam tataran sosiologis, dan meskipun mampu mengguncang hari-hati mereka yang melihat perjuanganya, pada akhirnya idealisme mereka berujung pada tetap melangitnya substansi dari pemikiran-pemikiran mereka sendiri.

Jadi tulisan ini ingin menyerang orang-orang yang idealis? tidak. Bukankah telah ditegaskan di atas, bahwa persoalannya adalah dinamika kultural yang terjadi, bahwa di negeri ini, berhak tidaknya anda memiliki klaim atas kebenaran kongruen dengan besarnya kapital yang anda miliki, atau sederhananya di negeri nirmala ini, kebenaran dapat divaluasi, dengan modal sebagai besarannya. Penguasa dapat memutarbalikkan fakta historis karena memiliki kekuasan, korporatokrasi perusahaan-perusahaan besar pun memperoleh legitimasi untuk mengendalikan sistem perekonomian serta pada akhirnya menjustifikasi siapa yang benar maupun tidak di dalam sistem, pun karena uang. Pada titik inilah, cita-cita mereka yang berstatus sebagai kelompok minoritas menjadi disalahartikan bukan lagi sebagai sebuah pemikiran alternatif, namun sebagai sesuatu yang salah, tanpa memperdalamnya secara subtantif. Jadilah pejabat yang setia tidak korupsi, perusahan yang rela budget iklannya dipotong 7% demi menaikkan upah buruhnya hinga 25% (Nilainya secara nominal adalah sama, tanyakan saja pada nike Indonesia, walaupun mereka belum sudi melakukannya), atau mahasiswa yang menghabiskan waktunya untuk mengkaji isu strategis bangsa di akhir pekan dan bukannya pergi dugem, mendapat label "sok idealis".

Pilihannya sekarang bagi para orang idealis di persada ini adalah, seperti gie, mencoba hingga batas yang sejauh-jauhnya, atau berhenti. Berhenti memperjuangkan idealismenya?bukan. Namun berhenti mencari batas yang sejauh-jauhnya itu, dan mulai melihat kemungkinan di dekatnya. Saya memilih yang ke 2. Inilah hari di mana idealisme harus mulai mencari cara-cara yang lebih proporsional. Selain guna memperluas daya jangkau dari ide itu sendiri, ia pun akan berhenti menampik dirinya sendiri, ketika akhirnya berhasil membuka jalan bagi sang kebenaran sistemik untuk melakukan introspeksi kolektif. Konkritnya bagi saya, tiada lain dan bukan, adalah menceburkan idealisme yang kita punya langsung pada sang kebenaran sistemik itu sendiri, di mana akan terbuka ruang bagi dialektika yang konstruktif, hingga akhirnya kita akan bertemu di satu titik.Menjual idealisme?tidak. Inklusifitas tidak lantas membuat kita harus kehilangan jati dari, justru diperlukan jati diri yang kuat dan berkarakter untuk menempuh solusi ini layaknya analogi susu yang ketika masuk dalam kopi, mampu mencerahkan warnanya dan bukannya turut larut berwarna hitam.

Akhirnya, harap diingat bahwa tulisan ini hanya mencoba mengulas tentang idealisme yang berorientasi pada perubahan, entah positif atau sebalikya, karena tiada benar yang absolut selain milik sang Khalik yang agung. Karena sungguh bagi saya, itu semua kembali berpulang pada persepsi masing-masing.

Dan maaf jika di sini tidak dibahas tentang apatis ataupun yang tidak mampu membedakannya, antara idealis dan apatis, karena saya bukan sedang menulis bagi orang yang apatis dan jelas bahwa jika anda tidak memahami tentang apa itu apatis dan idealis, maka bagi saya anda adalah orang yang apatis.

Tidak realistis?impian kosong? TIDAK DAN TIDAK AKAN PERNAH..


Ditulis setelah ngambeknya sang hujan (Maafff, u're always be that star ko, yey!^^)


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkQQim71SyxCHJyzkayKQgtMjpUzJBMKKWByE9dFJEipvEYIExn26VQRgqW4uAi-k_oF9rC6sUcXSTUNCSZWYUskm_I1xvsiCG8Y-u0fYt-AbGh_F-FQahrIVcJ2xtiarPtLUs1oF259wq/s220/2-gie.jpg

0 comments:

Post a Comment