March 19, 2010

UU BHP Chapter 1: Membangun Ruang Publik yang Tanpa Hati


”a spatial concept, the social site or arena where meanings are articulated, distributed and negotiated, as well as constituted body, by in this process, the public”


Begitulah jurgen habermas mendefinisikan sebuah konsep yang kini kita kenal dengan sebutan public sphere. Atau dalam bahasa persatuan kita, ruang publik. Ruang publik secara simplistis, mencoba menyarikan konsep habermas, adalah tempat bagi pemikiran, gagasan dan pengetahuan untuk dipertukarkan. Konsep ini merupakan jawaban habermas bagi kebutuhan akan hadirnya ruang kolektif yang mampu mengungkapkan segenap kepentingan masyarakat secara gamblang.
Menurut habermas, masyarakat selalu memiliki tiga kepentingan, yaitu kepentingan teknis akan penyediaan sumber daya natural, kepentingan praktis untuk berinteraksi dengan sesamanya, dan akhirnya, kepentingan kekuasaan. Masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini. Pertentangan antar kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Bagi habermas, Ruang Publik adalah wahana di mana setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian mereka terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan maasalah-masalah yang mereka hadapi.
Pendidikan, dengan segala aspeknya tidak dapat kita lepaskan dari konsep ruang publik. Melalui pendidikan, ilmu pengetahuan dipertukarkan tidak hanya sebagai sebuah komoditi, atau aset intagible menurut ilmu ekonomi, namun lebih dari itu, sebagai sebuah sarana enkulturisasi dan sosialisasi untuk membentuk insan-insan yang lebih berdaya dan mampu memberdayakan, hal ini sesuai dengan konsep ruang publik, di mana melalui pendidikan pada tataran ideal, masyarakat diharapkan dapat mencapai konsensus serta menciptakan solusi untuk mengatasi masalah bersama melalui ruang publik.
Lalu bagaimana kita dapat mendefinisikan pendidikan yang telah memenuhi kualifikasi ruang publik yang ideal? Jawabannya pun telah sedikit diuraikan di atas, yani ketika pendidikan mampu menjamin aksebilitas setiap elemen masyarakat untuk memperolehnya.
Pertanyaan kunci berikutnya adalah, sudahkah pendidikan di Indonesia terjamin aksebilitasnya? Hari ini, inilah pertanyaan yang menggelayuti dunia pendidikan kita, ketika Undang-Undang BHP (Badan Hukum Pendidikan) muncul sebagai sebuah upaya sistemik liberalisasi pendidikan. Melalui konstruksinya, UU BHP menisbikan peran negara dalam penyediaan pendidikan bagi seluruh rakyat. Terdegradasinya peran negara (deregulasi) adalah salah satu ciri utama liberalisasi yang percaya bahwa keterlibatan negara akan menjadi variabel penghambat efisiensi yang terpolarisasi melalui dinamika pasar, hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan tergusurnya pendidikan dari ranah publik ke ranah privat. Sebuah kesesatan berpikir yang nyata, mengingat tidak logis untuk memprivatisasi sektor yang seharusnya bebas dari kompetisi, karena secara struktural, hanya kompetisi yang dapat menekan harga ke tingkat yang lebih rendah. Inilah akar persoalan yang mengakibatkan banyak anak bangsa yang harus mengubur dalam-dalam keinginan luhurnya untuk mengenyam pendidikan karena faktor ketidaktersediaan modal.
Maka, haruskah kita diam? Atau terus berjuang karena Undang-Undang ini kini tengah berada dalam proses Judicial Review, yang akan segera diputus oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dalam waktu dekat. Pilihan itu sudah begitu nyata, seterang surya di atas mega, mari rapatkan barisan untuk sebuah perjuangan!HIDUP PENDIDIKAN RAKYAT INDONESIA!

0 comments:

Post a Comment