Pamflet yang gw buat untuk BEM UI baru-baru ini untuk diskusi dengan angoota dewan yang terhormat, tentang rakyat.
Dalam rumusan para pendiri bangsa kita, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan bernegara Indonesia. Sebagai konsekuensi logisnya, penyelenggaraan pendidikan sebagai instrumen pelaksananya merupakan tanggung jawab negara. Hari ini, konsep yang demikian menjadi kian tidak relevan. Dinamika global menuntut adanya redefinisi tentang peran serta negara dalam pendidikan di berbagai tingkatannya. Hal ini ditandai dengan mengemukanya konsep good governance yang menuntut pelibatan sektor privat dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, termasuk di sektor pendidikan. Tentu ini tidak berarti bahwa privatisasi harus diterima bulat-bulat dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagaimana sektor privat dan publik dapat saling memperkuat alih-alih harus berdiri sebagai oposan bagi yang lainnya, itulah pertanyaan yang harus sama-sama kita cari jawabnya.
Isu terkini dalam diskursus panjang ini adalah munculnya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Tulisan ini akan mengemukakan beberapa catatan tentang RUU tersebut. Kerja yang lebih holistik dalam isu ini tengah digalang oleh tim kecil kajian RUU PT yang telah dibentuk oleh penulis dalam kapasitasnya sebagai staf ahli bidang pendidikan Pusat Kajian dan Studi Gerakan (PUSGERAK) BEM UI. Dalam waktu dekat, tim ini akan mempublikasikan hasil kerjanya. Tulisan ini hanya merupakan pembuka untuk memantik kesadaran kritis kita bersama. Semoga bisa menjadi bahan untuk memperkuat gerakan pemantauan dan advokasi terhadap proses legislasi RUU PT. Sebagai catatan, tulisan ini dibuat berdasarkan draft tertanggal 7 Juni 2011.
Mekanisme Kontrol: Sebuah Keniscayaan Bagi Proses Transformasi yang Hakiki
Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat perbedaan kapasitas di antara perguruan tinggi-sebagai satuan formal pengelola pendidikan tinggi berdasarkan definisi dalam ketentuan umum RUU PT-baik yang berada dalam lingkup negara dan berbentuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun yang diselenggarakan oleh sektor privat dan berbentuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Situasi ini harus direspon dengan kebijakan yang mampu mengakomodasi perbedaan tersebut. Ini pula yang menjadi landasan bagi redefinisi peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Derajat besarnya peran negara harus disesuaikan dengan kapasitas masing-masing perguruan tinggi agar keterlibatan negara dapat menjadi katalis positif bagi perkembangan perguruan tinggi terkait. Perguruan tinggi yang telah memiliki kapasitas yang memadai harus didorong untuk semakin otonom dari peran negara agar dapat mengembangkan daya saingnya tanpa terkendala oleh hambatan-hambatan birokratis. Sebaliknya, dalam perguruan tinggi yang kapasitasnya belum memadai, negara tidak boleh absen dan dengan segenap daya yang dimilikinya harus memberdayakan perguruan tinggi tersebut. Pemberdayaan tersebut dapat berupa penyertaan kekayaan negara bagi PTN dan bantuan biaya investasi atau biaya operasional bagi PTS.
Dalam implementasinya, bagaimana peran negara diletakkan dalam penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi akan berbanding terbalik dengan otonomi yang dimiliki oleh perguruan tinggi tersebut sebagai sebuah institusi. Merujuk pada RUU PT pasal 46 ayat 1, hal ini akan berdampak pada bentuk perguruan tinggi. Situasi ini menuntut adanya mekanisme kontrol yang jelas dalam mengawal proses transformasi perguruan tinggi dari satu bentuk ke bentuk lain dan dampaknya bagi otonomi yang dimiliki perguruan tinggi terkait. Mekanisme kontrol ini harus meliputi adanya indikator yang jelas bagi sebuah perguruan tinggi untuk diklasifikasikan sebagai perguruan tinggi dengan bentuk tertentu; sistem klasifikasi yang transparan, akuntabel dan berbasiskan meritokrasi serta sistem reward and punishment yang adil. Tanpanya, proses transformasi perguruan tinggi akan terdistorsi dari tujuan hakikinya untuk memajukan pendidikan tinggi, ditelan kepentingan-kepentingan sementara pihak untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Persoalan ini menjadi penting terutama dalam kaitannya dengan bentuk PTN. Berbeda dengan PTS yang-berdasarkan RUU PT-memiliki bentuk tunggal sebagai badan hukum nirlaba, RUU PT mengemukakan adanya tiga bentuk PTN yang berbeda berdasarkan otonominya, yaitu PTN Berbadan Hukum, PTN Mandiri dan PTN Unit Pelaksana Teknis pemerintah (termasuk PTN Khusus). Dalam ketentuan umumnya RUU PT mendefinisikan PTN sebagai perguruan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh kementerian dan PTN khusus sebagai perguruan tinggi yang dikelola oleh kementerian bersama kementerian lain, dan/atau LPNK. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara berperan penuh dalam tata kelola kedua jenis PTN ini tanpa memberikan atau mendelegasikan otonomi yang dimilikinya. Sedangkan PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum berdasarkan pasal 47 dan 59 memiliki otonomi dalam bidang akademik dan nonakademik. Meskipun demikian, terdapat perbedaan dalam hal tata kelola kekayaan negara pada kedua jenis PTN ini. Kekayaan negara pada PTN Berbadan Hukum dapat dikelola secara otonom sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Hal yang sama tidak dijumpai di PTN Mandiri.
Melihat kompleksitas ini, mekanisme kontrol sebagaimana dipaparkan sebelumnya merupakan sebuah keniscayaan. Sayangnya, hal ini belum diatur secara terang dalam RUU PT. Pasal 44 ayat 1 hanya mengatur bahwa perguruan tinggi dapat diberikan otonomi dalam bidang akademik dan/atau nonakademik untuk mengelola lembaganya secara mandiri. Dalam ayat 2 pasal yang sama dijelaskan bahwa pemberian otonomi tersebut dilakukan berdasarkan kemampuan masing-masing perguruan tinggi untuk mengelola lembaganya secara mandiri. Lebih jauh pada pasal 45 diatur bahwa aparatur terkait-baik merepresentasikan negara mapun masyarakat-dapat mengubah ruang lingkup otonomi perguruan tinggi sesuai dengan kewenangannya. Anehnya, tidak ada pasal yang mendefinisikan “kemampuan masing-masing perguruan tinggi untuk mengelola lembaganya secara mandiri” serta indikator apa yang harus digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk mengubah ruang lingkup otonomi perguruan tinggi dalam melaksanakan perubahan tersebut. Dalam kaitannya dengan PTN Berbadan Hukum dan PTN Mandiri, pasal 47 dan 59 hanya mengatur bahwa persyaratan untuk dapat diklasifikasikan sebagai kedua jenis PTN tersebut akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Inilah catatan penting pertama terhadap RUU PT.
Jaminan aksesibilitas: Pendidikan Sebagai Hak Dasar, Masihkah?
Redefinisi peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan pelibatan masyarakat dan sektor privat tidak boleh berpaling dari tujuan bernegara kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Keterlibatan aktor selain negara harus diletakkan sebagai penguat peran negara dalam perwujudkan pendidikan sebagai hak dasar warga negara. Inilah catatan berikutnya terkait RUU PT terutama dalam konteks penyelenggaraan PTN sebagai perguruan tinggi yang melekat-dengan derajat tertentu berdasarkan bentuknya-pada negara.
Paling tidak terdapat dua indikator substansial untuk mengukur peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi berdasarkan RUU PT. Kedua indikator tersebut adalah jaminan negara terhadap eksistensi PTN dan aksesibilitas bagi seluruh warga negara untuk masuk ke PTN.
Menyoal yang pertama, tidak terdapat jaminan negara yang kokoh bagi PTN yang berbentuk PTN Berbadan Hukum. Meskipun pada pasal 97 disebutkan bahwa pendanaan PTN Berbadan Hukum merupakan tanggung jawan pemerintah, masyarakat dan PTN bersangkutan, wujud tanggung jawab pemerintah dalam PTN berbadan hukum tidak termanifestasikan dengan jelas dalam RUU PT.
Merujuk pada pasal 47, kekayaan negara yang terdapat pada PTN Berbadan Hukum berbentuk kekayaan negara yang dipisahkan, artinya bukan merupakan bagian dari Anggaran negara. Pada pasal 32 tentang pendanaan pendidikan tinggi, pendanaan pendidikan tinggi didefinisikan sebagai penyediaan anggaran pemerintah dan anggaran pemerintah daerah provinsi, kapubaten/kota serta upaya memobilisasi bantuan dana masyarakat untuk mencapai tujuaan pendidikan tinggi. Jelas bahwa pendanaan yang berasal dari pemerintah-sebagai representasi negara-harus berasal dari anggaran negara-baik di tingkat pusat maupun daerah-sehingga berdasarkan situasi ini, PTN Berbadan Hukum tidak dapat memperoleh bantuan pendanaan dari negara kecuali dalam bentuk penyertaan kekayaan negara yang dipisahkan pada awal pendirian PTN Berbadan Hukum terkait.
Hal ini dapat dipandang secara positif sebenarnya sebagai upaya untuk melepaskan perguruan tinggi Berbadan Hukum-yang dapat dipandang sebagai model paling maju bagi sebuah perguruan tinggi-dari ketergantungan pada peran negara dan menjadikan perguruan tinggi bersangkutan kian kompetitif. Namun mengingat fungsinya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan bernegara, negara tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya terhadap kelangsungan hidup perguruan tinggi, termasuk yang berbentuk PTN Berbadan Hukum. Hal ini nyata-nyata tidak diakomodasi oleh RUU PT. Tidak ada aturan tentang mekanisme penyelamatan bagi PTN Berbadan Hukum bila sebuah PTN Berbadan Hukum mengalami defisit dalam pendanaannya. Lalu apa yang akan terjadi dengan PTN Berbadan Hukum yang demikian? Mengingat-berdasarkan paparan sebelumnya-PTN Berbadan Hukum juga tidak berhak menerima pendanaan dari negara kecuali dalam bentuk kekayaan awal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, bisa jadi PTN tersebut akan pailit. Merujuk pasal 41 tentang penutupan perguruan tinggi, sebuah perguruan tinggi bisa dicabut izinnya-sebagai bentuk penutupan-oleh menteri pendidikan nasional ketika perguruan tinggi tersebut-salah satunya-tidak lagi memenuhi syarat pendiriannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan bentuknya sebagai badan hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait maka kepailitan sebuah PTN Berbadan Hukum akan berakibat dibubarkannya PTN Berbadan Hukum yang mengalami kepailitan. Hal ini karena institusi tersebut sudah tidak memenuhi syarat sebagai sebuah badan hukum.
Lalu apakah PTN Mandiri dan PTN Unit Pelaksana Teknis dapat dikatakan aman? Secara konseptual ya, karena kekayaan mereka yang berasal dari negara bukanlah kekayaan negara yang dipisahkan. Artinya bila sampai kedua jenis PTN ini mengalami pailit, negara wajib melakukan tindakan penyelematan, karena kepailitan kedua jenis PTN ini juga berarti kepailitan negara. Namun demikian fakta bahwa PTN Mandiri memiliki otonomi nonakademik harus dicermati lebih jauh. Otonomi nonakademik yang dimaksud oleh RUU PT bagi PTN Mandiri meliputi otonomi untuk menetapkan tarif layanan. Artinya untuk menghindari situasi defisit, PTN Mandiri memiliki hak untuk melakukan penyesuaian tarif layanan. Situasi ini-baik pada PTN Berbadan Hukum maupun PTN Mandiri-pada gilirannya berpotensi menstimulus PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum untuk berfokus pada pembangunan kekuatan finansialnya. Ini merupakan pilihan logis bagi PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum agar kelangsungan hidupnya tetap terjamin di tengah absennya tanggung jawab negara. Jika sudah begini, apa yang terjadi dengan aksesibilitas masuk PTN-terutama yang berbentuk PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum?
Jaminan aksesibilitas untuk masuk ke kedua jenis PTN tersebut hanya dijamin oleh pasal 99 untuk PTN Berbadan Hukum dan pasal 103 untuk PTN Mandiri. Dalam pasal tersebut, PTN Berbadan Hukum maupun Mandiri wajib untuk mengalokasikan 20% kuota peserta didiknya untuk calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi tidak mampu secara ekonomi. Ketika negara absen dalam menjamin kelangsungan hidup PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum, maka perguruan tinggi dengan bentuk tersebut tidak memiliki pilihan lain selain mengoptimalkan penerimaan dari peserta didiknya. Hal ini dapat dilakukan dengan meminimalisir jumlah peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi. Dalam kondisi ini, sangat mungkin angka 20% yang ditetapkan sebagai besaran minimal menjadi landasan bagi PTN Mandiri dan PTN Berbadan hukum untuk menetapkan jumlah kuota yang diberikan bagi peserta didik yang lemah kemampuan ekonominya. Akan halnya 80% lainnya, bangku-bangku tersebut hanya akan dapat diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial yang memadai. Meskipun ditetapkan-pada pasal 99 dan 103-bahwa mahasiswa hanya membayar maksimal 1/3 dari besaran biaya operasional, PTN Mandiri dan PTN Berbadan hukum memiliki otonomi penuh untuk menetapkan tarif layanannya. Merespon kondisi tersebut-kembali-hanya 20% peserta didik dengan ciri-ciri yang didefinisikan pada pasal 99 dan pasal 103 ayat 1 (memiliki potensi akademik tinggi namun tidak mampu secara ekonomi) yang dijamin haknya untuk membayar sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki, sedangkan sisanya berada dalam posisi yang rentan terhadap eksploitasi secara finansial.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa peran negara diletakkan dalam posisi yang sangat rapuh dalam menjamin perwujudan pendidikan sebagai hak dasar berdasarkan konstruksi RUU PT. Adalah benar bahwa otonomi perguruan tinggi dan keterlibatan aktor selain negara adalah sebuah keniscayaan bagi kemajuan pendidikan tinggi. Namun ketika situasi sosiologis di lapangan belum merepresentasikan kapasitas yang ideal, negara tidak boleh absen. Jika tidak demikian, ia akan ingkar pada tujuan keberadaannya.
Keterlibatan Mahasiswa dan Karyawan Dalam Majelis Pemangku
Apa itu majelis pemangku? Tugas pokok dan fungsi serta perannya kurang lebih seperti Majelis Wali Amanat dalam konsep Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Berdasarkan RUU PT pasal 48 dan 60, perguruan tinggi yang memiliki otonomi-merujuk pada PTN Mandiri dan PTN Berbadan Hukum-wajib memiliki majelis pemangku sebagai salah satu organnya, selain senat akademik, komite audit dan pimpinan perguruan tinggi. Pada pasal 49-untuk PTN Berbadan Hukum-dan pasal 61-untuk PTN Mandiri-dijelaskan lebih jauh tentang susunan anggota majelis pemangku. Dalam kedua pasal tersebut tidak dijumpai adanya perwakilan mahasiswa dan karyawan perguruan tinggi yang duduk sebagai anggota majelis pemangku.
Mengapa mahasiswa dan karyawan harus duduk di majelis pemangku? Merujuk pada pasal 50 dan 62 RUU PT, majelis pemangku dibentuk salah satunya sebagai representasi dari menteri pendidikan nasional untuk melaksanan tugas dan fungsinya. Tugas dan fungsi menteri pendidikan nasional berdasarkan pasal 6, secara umum meliputi pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan tinggi. Kebijakan-kebijakan ini pada gilirannya akan bersentuhan langsung dengan persoalan-persoalan publik dalam bidang penyelenggaraan pendidikan tinggi atau dengan kata lain merupakan kebijakan publik. Berdasarkan kondisi yang demikian dapat disimpulkan bahwa majelis pemangku-dengan keterbatasan tertentu pada ranah pengawasan berdasarkan pasal 48-merupakan organ yang berperan sebagai regulator dan evaluator kebijakan publik di perguruan tinggi yang menjadi area kerjanya.
Menurut Widodo (2005), era reformasi telah menghembuskan angin perubahan dalam tata kehidupan bernegara kita, termasuk dalam struktur pengambilan kebijakan publik. Dalam persoalan yang disebut belakangan, konsep good governance yang mengemuka menggantikan rule government menghendaki adanya keterlibatan yang lebih luas dari aktor nonnegara untuk meningkatkan kapasitas negara dalam menyediakan layanan publik, terutama terkait transparansi dan akuntabilitasnya. Muncul kemudian wacana yang luas berkembang tentang pelibatan pemangku kepentingan dalam struktur pengambilan kebijakan publik. Apa itu pemangku kepentingan (stakeholders)?
Sejak pertama kali dikemukakan oleh Abrams (1951), teori tentang pemangku kepentingan terus berkembang. Meskipun muncul berbagai pendapat dengan narasi yang berbeda-beda, semuanya berdiri di bawah satu kesepahaman bahwa sebuah institusi-privat atau publik-harus memperhatikan kepentingan, kebutuhan dan pengaruh semua pihak yang terkena dampak kebijakannya. Konsep yang berkembang pada tingkatan negara ini seharusnya juga diimplementasikan dalam tatanan-tatanan yang lebih mikro untuk mengakselerasi perwujudannya. Apalagi dalam konteks majelis pemangku, negara-dengan tingkat tertentu tergantung bentuk hukum PTN terkait-telah mendelegasikan kewenangannya kepada majelis pemangku. Inilah landasan dalam meletakkan peran majelis pemangku pada sebuah perguruan tinggi. Simpulan yang dapat ditarik pada titik ini, majelis pemangku harus dibangun berbasiskan pelibatan yang holistik dari segenap unsur pemangku kepentingan dalam sebuah perguruan tinggi. Kembali pada konsep yang telah dikemukakan sebelumnya tentang pemangku kepentingan, maka sudah seharusnya karyawan perguruan tinggi dan mahasiswa memiliki perwakilan dalam majelis pemangku mengingat mereka juga merupakan pihak yang akan terkena dampak dari kebijakan sebuah perguruan tinggi.
Epilog
Catatan ini bukanlah akhir. Sebaliknya ini merupakan awalan untuk kembali merenungkan RUU PT. Apakah RUU ini akan muncul sebagai terobosan berharga dalam menyelesaikan polemik seputar bentuk hukum perguruan tinggi ataukah memperburuknya? Apakah RUU ini akan menjadi instrumen untuk melepaskan tanggung jawab negara atas perwujudan pendidikan sebagai hak dasar ataukah memperkuat peran negara dalam sebuah kerjasama mutualisme dengan sektor swasta dan masyarakat menuju pendidikan untuk semua? dan apakah RUU ini akan berkhianat pada tujuan bernegara kita atau tidak? Pilihan-pilihan itu tersaji demikian terang. Saatnya semua yang terlibat bekerjasama untuk mencari jawabnya, bukan untuk siapa-siapa melainkan Bangsa Indonesia.
June 22, 2011
June 02, 2011
Mencari (lagi) Nasionalisme Kita 1
Kenichi Ohmae berkata dalam bukunya yang mendongengkan kiamatnya negara bangsa tentang 4 i (investasi, industri, individualitas dan investasi). 4 hal ini menurut Ohmae akan mengubah wajah dunia yang kita tinggali. Batas antar bangsa yang sekarang ada akan menjadi kian tidak berarti ditelan dinamika globalisasi. Meski agak menggunakan “kaca mata kuda” karena dominannya sudut pandang ekonomi, pandangan ini sedikit banyak mulai terbukti kebenarannya hari ini. Dunia hari ini adalah tempat yang berbeda sama sekali dengan tempat yang ditinggali ayah ibu kita ketika dulu mereka mendengarkan Koes Plus dan bersepatu roda di Binaria. Internet menghubungkan negara-negara yang terpisah ribuan mil dan berada di zona waktu yang berbeda, isu lingkungan makin mengemuka, perang dingin tinggal pepesan kosong, Republik Rakyat Cina sudah bukan negara dengan ekonomi tertutup dan telah tercipta tumblr! Dalam situasi ini, di mana kemudian letak nasionalisme?
Bicara nasionalisme, gw paling suka definisi Soekarno dalam tulisannya untuk merespon tulisan H. Agus Salim yang takut bahwa nasionalisme Indonesia tidaklah berbeda dengan chauvinisme. Dalam tulisan yang gw baca di buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid 1 ini, si bung berkata kira-kira begini “…nasionalisme kita bukanlah jang berasal dari kesombongan bangsa belaka, ia nasionalisme jang lebar-jang berasal daripada pemahaman akan susunan dunia dan riwajat…”. Untuk semua Soekarnois di luar sana, gw minta maaf jika definisi gw salah tapi yang gw tangkap, Soekarno ingin berkata bahwa nasionalisme itu tidak transenden, tiba-tiba datang entah darimana dan tercipta begitu saja. Nasionalisme sejati datang dari pemahaman yang utuh tentang konstelasi dunia dan riwayat bangsa.
Hari ini banyak gerakan masyarakat sipil terutama di kalangan pemuda yang muncul dengan mengatasnamakan cinta pada bangsa-dengan kata lain, nasionalisme. Tidak sedikit yang tumbuh menjadi arus utama dan mempengaruhi hidup ribuan orang lain. Pertanyaannya, sudahkah konsep yang dipaparkan Soekarno sebagaimana gw kutip di atas benar-benar diresapi? kalau sudah,mengapa masih banyak anak muda yang mengaku nasionalis hanya karena menggunakan batik, padahal batik yang mereka pakai merupakan barang impor dari China?? padahal di saat yang sama mereka sebanarnya tengah meminuskan neraca perdagangan kita?? (secara umum, karena dalam ekonomi yang berpengaruh adalah neraca secara agregat, bukan negara per negara). Mengapa banyak pemuda dengan bangga melabeli dirinya aktivis ini itu tanpa tahu tentang sejarah penindasan bangsa Indonesia? tanpa mengerti bahwa semua yang publik di negara ini tengah diliberalisasi? bahwa tidak ada orang miskin di Indonesia, yang ada, dimiskinkan!
Ironis. Mari, mencari lagi nasionalisme kita!
Sampai jumpa di jilid berikutnya seri ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)